Skip to content
Home » Artikel » Jakarta Livable & Lovable City

Jakarta Livable & Lovable City

Jakarta hari ini sedang berbenah.

Pemerintah pusat dan daerah terus menggaungkan visi Jakarta sebagai kota global (global city) yang layak huni (livable city). Namun, kita perlu bertanya dengan jujur,

Apakah Jakarta sudah benar-benar layak huni? Apakah warganya merasa memiliki dan mencintai kotanya?

Jakarta memang terus bergerak menuju kota modern, tetapi rasa memiliki (sense of belonging) warganya terhadap kota ini belum tumbuh kuat. Banyak warga yang merasa Jakarta adalah tempat untuk bekerja dan bertahan hidup, bukan tempat untuk membangun ikatan atau kebanggaan.

Mengintip makna livable city

Livable city sering kali disalahartikan. Kita terlalu fokus pada teknologi, gedung tinggi, atau infrastruktur modern sebagai ukuran kelayakhunian kota. Lebih dari itu, livable city adalah kota yang mampu menciptakan keseimbangan antara manusia (people), alam (nature), dan budaya (culture) sehingga menghadirkan rasa bangga serta keterikatan emosional warganya (Susantono, 2025).

Masalah-masalah mendasar yang membuat Jakarta belum layak huni sangat nyata di depan mata. Banyak pembangunan di Jakarta mengedepankan city for human dalam arti fisik dan melupakan pentingnya harmoni dengan alam dan budaya. Kemacetan parah, permukiman kumuh, rumah tak layak huni, dan polusi udara masih menghantui aktivitas sehari-hari. 

Di samping tantangan fisik, alam dan budaya menjadi unsur penting yang tidak boleh hilang. 

Ruang hijau di kota bukan hanya sebagai pelengkap estetika, tetapi penyangga kehidupan yang menjaga kualitas udara dan menjadi ruang bernapas bagi warga. 

Sayangnya, masih banyak warga dan juga kebijakan yang memperlakukan alam sebagai ruang sisa yang bisa dikorbankan. Kawasan resapan ditutup, bantaran sungai disemen, hutan kota menyempit, demi ambisi pembangunan yang belum selalu berpihak pada keberlanjutan.

Pun dari segi budaya Jakarta, ia memegang peranan penting untuk menjadikan sebuah kota layak huni (livable) dan menjadi kota yang dicintai (lovable).

Kecintaan warga terhadap Persija, misalnya, lebih dari sekedar loyalitas pada klub sepak bola. Persija adalah simbol kebanggaan kolektif warga Jakarta yang mempersatukan mereka di tengah keberagaman.

Begitu pula dengan budaya Betawi, seperti ondel-ondel, tanjidor, lenong, dan lainnya yang merupakan simbol kekayaan Jakarta yang harus tetap hidup di tengah modernisasi. Budaya inilah yang dapat membuat Jakarta bukan hanya layak huni, tetapi juga layak dicintai oleh warganya. 

Jakarta modern yang tidak berpijak pada budaya hanya akan menghasilkan kota pekerja tanpa cinta dan jiwa.