SDG-4 menargetkan semua orang memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas dari pengasuhan anak usia dini hingga pendidikan tinggi.
Namun, apakah pendidikan hanya soal sekolah, guru, dan bangku kelas?
Di banyak kota Indonesia, fasilitas pendidikan memang terus dibangun. Gedung-gedung sekolah berdiri megah, ruang kelas diperbaiki, dan teknologi perlahan masuk.
Pertanyaannya: apakah ruang kota memiliki andil dalam mendidik warganya di luar jam sekolah?
Pendidikan bukan cuma soal nilai ujian atau ijazah. Kota juga perlu mengajarkan dan membiasakan hal-hal sederhana yang membentuk karakter warganya: tertib antre, tidak membuang sampah sembarangan, menghormati pejalan kaki, atau merawat taman bersama. Di sinilah kita dapat membayangkan ulang peran kota yang bukan sekadar sebagai ruang tinggal, tetapi juga ruang edukasi.
Ruang-ruang kota bisa menjadi pelengkap bahkan alternatif yang mendekatkan pendidikan ke kehidupan sehari-hari. Setidaknya, ada tiga karakteristik kota yang mengedukasi.
- Memiliki fasilitas belajar dan pengembangan pengetahuan yang inklusif
- Lingkungan yang mendukung tumbuh kembang warganya melalui berbagai sarana
- Ruang kota yang mengedukasi warganya melalui pendidikan informal
Beberapa kota sudah mulai ke arah sana. Misalnya,
- Perpustakaan keliling
Di Kabupaten Bandung, tersedia perpustakaan keliling dan perpustakaan tanpa buku yang dapat diakses lewat kode QR.
- Patung-patung di ruang publik
Di luar negeri, patung-patung di ruang publik, seperti Civilian War Memorial di Singapura atau Confucius Statue di Tiongkok, bukan hanya memperindah kota, tetapi juga menjadi pengingat sejarah, nilai moral, atau identitas budaya.
Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas tetap menjadi tanggung jawab negara. Namun, kota bisa mengambil perannya sebagai sahabat belajar yang membentuk karakter lewat kebiasaan, ruang, dan interaksi sehari-hari.
Karena sejatinya, kota yang baik tak hanya membangun gedung tinggi, tetapi juga menumbuhkan akal budi warganya.