Anggapan bahwa orang Indonesia malas berjalan kaki ini tidak sepenuhnya tepat. Masalah utamanya bukan pada kemauan masyarakat, melainkan pada minimnya fasilitas pendukung yang layak.
Trotoar yang seharusnya menjadi elemen penting dalam sistem transportasi dan ruang publik justru kerap dibangun hanya sebagai pelengkap, bukan sebagai bagian yang terintegrasi dalam perencanaan kota yang berpihak pada manusia.
Di berbagai daerah, trotoar kerap ditemukan dalam kondisi buruk: sempit, berlubang, tidak terhubung, bahkan tidak tersedia sama sekali. Lebih parah lagi, banyak trotoar justru dialihfungsikan untuk kepentingan lain, seperti tempat parkir liar atau lapak pedagang kaki lima (PKL) ilegal.
Berbicara tentang PKL selalu menempatkan kita pada dilema, antara menjadi penyebab kekumuhan visual dan menjadi jaring pengaman sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan PKL menjadi alternatif pemenuh kebutuhan dengan harga yang lebih murah. Tetapi juga, tidak jarang tempat yang dikonsentrasi PKL tanpa penataan yang baik menimbulkan kekumuhan dan eksternalitas negatif lainnya.
Maka dari itu, solusinya bukanlah memberantas mereka dari trotoar, melainkan menata dan difasilitasi dengan baik.Trotoar Baik, Ekonomi Bergerak
Trotoar lebar, bersih, dan teduh, memberi rasa aman dan nyaman untuk berjalan kaki. Hasilnya? Aktivitas jalan kaki meningkat, kunjungan ke toko-toko kecil dan ritel pun naik, sekaligus membentuk citra kawasan yang baik. Secara tidak langsung, ini mendorong peningkatan nilai ekonomi kawasan.
Studi tentang revitalisasi trotoar di kawasan Kota Tua Jakarta menunjukkan bahwa tingkat walkability punya hubungan positif dan signifikan terhadap kemajuan ekonomi kawasan, dengan korelasi Pearson sebesar 0,289 dan signifikansi 0,004.
Artinya, perbaikan infrastruktur pejalan kaki memang dapat meningkatkan aktivitas ekonomi, termasuk konsumsi dan pendapatan ritel.
Wicaksono, W. P., Fatimah, T., & Prana, A. M. (2024).
Trotoar Tidak Kondusif, Konsumen Menyingkir
Sebaliknya, trotoar yang tidak tertata, dipenuhi PKL yang semrawut, menjadi tempat parkir liar, justru bisa menurunkan kualitas berjalan kaki. Akses ke toko terganggu, konsumen enggan mampir, dan kenyamanan kawasan menurun. Akhirnya, baik ritel formal maupun PKL bisa mengalami penurunan omzet akibat berkurangnya keramaian.
Salah satu contoh nyata dapat ditemukan di Kawasan Jatinegara, sejumlah toko ritel formal mengalami penurunan aktivitas hingga akhirnya tutup karena terhalang oleh lapak PKL. Bahkan, beberapa toko resmi akhirnya turut menjajakan dagangan di trotoar, yang justru memicu persoalan baru seperti meningkatnya kekumuhan, hilangnya fungsi trotoar, dan menurunnya potensi pendapatan daerah dari pajak ritel formal.
Yang perlu dicatat …
Kehadiran PKL bukan berarti merusak trotoar. Mereka justru dapat menjadi elemen vital ekonomi mikro jika ditata dengan baik. Mereka menciptakan keragaman aktivitas, menarik kerumunan, dan memperkuat jejaring antara sektor formal dan informal. Maka dari itu, solusinya bukan mengusir PKL dan memperlakukan mereka layaknya pelanggar, tetapi membuat mekanisme kebijakan ruang kota yang dapat memfasilitasi mereka secara adli dan tertata.
Namun,
Membangun trotoar yang bagus tidak secara otomatis menjamin lonjakan ekonomi. Jangan lupakan daya beli masyarakat sebagai faktor utamanya.
Walaupun trotoar terbukti dapat meningkatkan kenyamanan dan interaksi ekonomi, hal ini tidak bisa serta merta menjamin peningkatan omzet jika daya beli masyarakatnya rendah. Pembangunan infrastruktur fisik trotoar merupakan syarat penting, tetapi harus diikuti dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh.
Trotoar yang bagus hanya akan menjadi jalur kosong jika tidak ada aktivitas ekonomi yang menghidupinya.