Perempuan kerap menghadapi tantangan ekstra dalam menjalani kehidupan di kota.Mulai dari rasa tidak aman saat berjalan di malam hari, transportasi umum yang belum ramah, hingga minimnya fasilitas publik yang mendukung peran ganda perempuan sebagai pekerja sekaligus pengurus rumah tangga. Sepanjang tahun 2023, tercatat sebanyak 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan, sebuah angka yang mencerminkan urgensi persoalan ini.
Kota seharusnya dibangun dengan mempertimbangkan kebutuhan seluruh warganya, termasuk perempuan. Sayangnya, perencanaan kota hingga kini masih terlalu berfokus pada aspek teknis dan fisik serta kurang memperhatikan dimensi sosial dan realitas keseharian masyarakat, khususnya perempuan.
Kota Peka Gender
Kota ramah gender tidak hanya responsif terhadap kebutuhan perempuan dalam segala aktivitasnya, tetapi juga membuka ruang keterlibatan perempuan seluasnya dalam menentukan bagaimana kota direncanakan, dirancang, dibangun, dan dikelola.
Agar dapat berkontribusi maksimal dalam pencapaian kota yang peka akan gender, kota perlu memiliki setidaknya tiga karakteristik berikut:
- Kota yang bersungguh sungguh dalam upaya mengakhiri berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta memastikan kesempatan yang sama dalam semua bidang kehidupan.
- Kota yang mengakomodasi kebutuhan khusus kaum perempuan dalam melangsungkan kegiatannya di kota tersebut.
- Kota yang selalu melibatkan perempuan dalam proses proses perencanaan, penganggaran, pembangunan, pengelolaan serta pemantauan dan evaluasi kota.
Kota Sakai di Jepang, contohnya. Mereka memasang CCTV di banyak titik dalam kota, meningkatkan penerangan jalan, serta melatih pencegahan kekerasan terhadap perempuan di ruang publik.
Kota-kota di Indonesia juga sudah melakukan beberapa upaya untuk menciptakan kota ramah gender. Seperti, aplikasi SafetiPin yang pernah dilakukan di Jakarta tahun 2014, lalu penyediaan fasilitas penitipan anak di kantor pemerintahan, swasta, dan ruang publik, serta sekolah perempuan yang ditujukan untuk mengembangkan kesadaran kritis dan kepemimpinan kaum perempuan.
Dalam perwujudannya, kota ramah gender masih diiringi keterbatasan akibat kurangnya wawasan maupun kesempatan yang sama bagi perempuan untuk turut andil dalam pembangunan kota. Diperlukan strategi pemberdayaan perempuan yang komprehensif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, didukung dengan kebijakan strategis dan anggaran responsif gender yang memadai dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten kota.