“Indonesia berada di Zona Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) dan di pertemuan tiga lempeng tektonik“
Kalimat di atas pasti sudah tak asing lagi bagi kita. Pun kita tahu betul bahwa negara ini akrab dengan bencana.
Ironisnya, meski sejak dulu kita diajarkan betapa bahayanya bencana di Indonesia, kebutuhan akan sistem mitigasi yang lebih kuat justru belakangan ini diabaikan. Pemerintah memangkas anggaran belanja modal dan barang BMKG hingga 50% dengan alasan efisiensi.
Padahal, data menunjukkan bahwa pada 5 tahun terakhir, Indonesia mencatat jumlah bencana yang tinggi.

Sumber: gis.bnpb.go.id
Masyarakat di media sosial pun mulai mempertanyakan cara pemerintah dapat menjamin keselamatan rakyatnya jika anggaran untuk mitigasi justru dikurangi. Pemotongan ini juga dikhawatirkan berdampak pada keterlambatan informasi bencana yang pada akhirnya dapat meningkatkan tingkat kerentanan bencana.
Mengenal resilient city
Keputusan tersebut tentu menimbulkan pertanyaan besar:
Bagaimana kesiapan Indonesia dalam membangun kota yang tangguh (resilient city) di tengah ancaman bencana yang semakin meningkat?Kota tangguh atau resilient city pada dasarnya dibangun untuk menciptakan kota yang dapat beradaptasi, menyesuaikan diri, dan bertransformasi dalam menghadapi berbagai tekanan dan guncangan yang dialami.
Keempat tahapan penanggulangan bencana menurut BNPB dipadukan dengan elemen-elemen perkotaan sehingga jadilah lima pilar kota tangguh (Sarosa dkk., 2023) berikut.

Paradigma resilient city harus dimaknai sebagai respons tata ruang yang adaptif yang didukung dengan integrasi teknologi dan partisipasi masyarakat.
Alih-alih memangkas anggaran, pemerintah seharusnya dapat merancang skema pembiayaan inovatif untuk memastikan kota-kota di Indonesia mampu bertahan dan bangkit lebih cepat saat menghadapi bencana.