Sebagai negara kepulauan Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, yakni sepanjang 99.083 km.[1] Panjangnya garis pantai ini menjadikan banyak kota di Indonesia berkembang di tepi air.

Sumber: Databoks (2021)
Bahkan, sembilan puluh persen kawasan perkotaan di dunia terletak di pesisir yang menjadikannya lebih rentan terhadap bencana akibat perubahan iklim (C40, 2018).[2]
Secara umum, di Asia, kota-kota pesisir telah berkembang dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dan masih terus bertumbuh. Perkembangan infrastruktur yang canggih dan luas di wilayah pesisir membuka peluang produksi dan perdagangan, hingga muncul istilah kota pesisir (coastal city).[3]
Menurut Hinrichsen (1998), kota pesisir adalah wilayah perkotaan yang terletak di sepanjang garis pantai dan dipengaruhi oleh dinamika laut serta aktivitas manusia yang beragam.[4]
Barbier (2015) menambahkan, kota pesisir memiliki karakteristik ekonomi yang bergantung pada sumber daya laut, rentan terhadap bencana alam seperti tsunami dan abrasi, serta menjadi pusat aktivitas perdagangan dan pariwisata.[5]
Kota pesisir berkembang pesat tidak hanya karena keindahan alamnya tetapi juga karena aksesibilitas transportasi, terutama melalui pengembangan pelabuhan yang berperan sebagai simpul utama perdagangan global.[6]Seiring dengan pesatnya pertumbuhan kota-kota pesisir, muncul berbagai konsep perencanaan yang menitikberatkan pada pemanfaatan ruang tepi air secara berkelanjutan. Salah satu konsep yang berkembang adalah waterfront city yang tidak hanya mengoptimalkan potensi ekonomi pesisir, tetapi juga meningkatkan kualitas lingkungan dan ruang publik.
Konsep waterfront city pertama kali diperkenalkan oleh James Rouse pada tahun 1960-an hingga 1970-an sebagai upaya merevitalisasi kawasan industri di wilayah pesisir, seperti di San Francisco, Amerika Serikat. Konsep ini merujuk pada kota yang terhubung dengan laut, sungai, danau, pelabuhan, dan badan air lainnya (Moretti, M., 2008).[7]
Menurut Breen dan Rigby (1996), waterfront city dapat diklasifikasikan berdasarkan dua aspek, yaitu jenis pembangunan dan fungsi utamanya (Rivai Notanubun, 2017). Jika dilihat dari jenis pembangunannya, waterfront terbagi menjadi tiga kategori sebagai berikut.[8]
- Konservasi (conservation): melibatkan upaya penataan dan pelestarian kawasan bersejarah agar tetap dapat diakses dan dinikmati oleh masyarakat.
- Pembangunan kembali (redevelopment): Menghidupkan kembali fungsi asli waterfront yang telah ada dengan cara merevitalisasi serta merekonstruksi fasilitas lama agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik.
- Pengembangan baru (development): Menciptakan kawasan waterfront baru, misalnya melalui reklamasi pantai, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Namun, pesatnya perkembangan kota pesisir juga meningkatkan risiko bencana. Kota-kota di pesisir menghadapi potensi bencana yang besar akibat perubahan iklim, termasuk kenaikan muka air laut, abrasi, serta intensitas bencana hidrometeorologi yang semakin tinggi.
IPCC memperkirakan bahwa pada tahun 2050, kota-kota pesisir di dunia akan menghadapi gangguan parah akibat gelombang panas, kekeringan, banjir pluvial, siklon tropis, serta pengasaman laut yang berisiko merusak ekosistem pesisir dan mengancam kehidupan masyarakat.
Pun begitu dengan konsep waterfront city yang sering kali salah diterjemahkan. Waterfront yang seharusnya bertujuan untuk melindungi badan air malah dieksploitasi sedemikian sehingga yang pada akhirnya berdampak buruk pada manusia.
Yang belum lama terjadi, perumahan elite di Bekasi terendam banjir besar akibat perubahan tata guna lahan yang tidak mempertimbangkan keseimbangan ekosistem air. Normalisasi sungai yang dilakukan secara parsial memperburuk bencana ini.
Dalam menghadapi tantangan ini, berbagai pendekatan telah dikembangkan untuk meningkatkan resiliensi kota. Salah satu konsep yang mulai diterapkan adalah pendekatan “kota spons” (sponge city) yang memanfaatkan infrastruktur alami, seperti sungai dan kanal, yang diintegrasikan dengan pohon, taman, dan hutan kota untuk meningkatkan daya serap air dan mengurangi risiko banjir. [9]
Sebagai contoh, port city Ningbo di Tiongkok berhasil mengubah kawasan industri tua (brownfield) sepanjang 3 km menjadi koridor ekologi dan taman publik yang tidak hanya meningkatkan daya tampung air, tetapi juga meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan serta kesejahteraan masyarakat.[9]
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, kota-kota yang berkaitan dengan air dapat mengoptimalkan potensi ekonominya tanpa mengorbankan daya dukung lingkungan sehingga menciptakan kawasan kota yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Referensi
[1] Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2024). Kajian Riset Pesisir untuk Indonesia Lestari. Diakses dari https://www.kkp.go.id/news/news-detail/kajian-riset-pesisir-untuk-indonesia-lestari65c1b52cd1a97.html.
[2] C40 Cities. (2018). Adapting to Climate Change. Diakses dari https://www.c40knowledgehub.org/s/topic/0TO1Q0000001lR5WAI/adapting-to-climate-change.
[3] Wijayanto, A. (2021). Pengembangan Potensi Maritim Wilayah Pesisir Guna Mendukung Ketahanan Nasional. Lemhannas RI.
[4] Hinrichsen, D. (1998). Coastal Waters of the World: Trends, Threats, and Strategies. Island Press.
[5] Barbier, E. B. (2015). Climate Change Impacts on Coastal and Marine Ecosystem Services: The Role of Coastal and Marine Ecosystems in Economic Development. Review of Environmental Economics and Policy, 9(1), 132-156.
[6] Arsyad, M. (2021). Pengembangan Kawasan Pesisir. Universitas Medan Area.
[7] Giovinazzi, O., & Moretti, M. (2008). Port Cities and Urban Waterfront: Transformations and Opportunities. TeMA – Journal of Land Use, Mobility and Environment.
[8] Breen, A., & Rigby, D. (1994). Waterfronts: Cities Reclaim Their Edge. McGraw-Hill Inc., New York.
[9] Stouhi, D. (2024, July 23). What does the future hold for coastal cities following the aftermaths of climate change? ArchDaily. https://www.archdaily.com/979393/what-does-the-future-hold-for-coastal-cities-following-the-aftermaths-of-climate-change