Tulisan ditulis oleh S.A. Mardliah dan pernah diterbitkan dalam KONSTRUKSI edisi Juli 1997, hal. 79-80
Gerakan urbanisme baru (New Urbanism), beberapa tahun terakhir ini menjadi bahan perdebatan di kalangan arsitek, perancang, perencana, pengembang dan pengelola kota, terutama di Amerika Utara. Oleh para pendukungnya, gerakan ini diharapkan dapat menjadi paradigma perancangan kota dan dapat mengubah wajah kota-kota modern, yang dianggap terlalu berorientasi kepada pengakomodasian kendaraan pribadi, dan melupakan kepentingan pembentukan komunitas, serta pemeliharaan kualitas lingkungan. Semakin hari semakin banyak kota di Amerika Serikat dan Kanada, yang mengadopsi kaidah-kaidah perancangan kota yang dipromosikan oleh gerakan urbanisme baru. Namun sebagaimana biasanya, gerakan ini pun tidak luput dari berbagai kritik.
Berdasarkan pengamatan terhadap pola pertumbuhan kota yang ada di Indonesia saat ini, termasuk rencana-rencana untuk berbagai kota baru, serta pembangunan jalan-jalan tol, maka banyak pemikiran serta kaidah perancangan urbanisme baru yang relevan, walaupun dalam penerapannya perlu adaptasi. Hal ini yang diangkat oleh Wicaksono Sarosa, salah seorang pemerhati masalah perancangan kota di Indonesia, dalam dialognya mengenai urbanisme baru bertemakan Paradigma Baru Perancangan Kota dan Relevansinya Dengan Pola Perkembangan Kota di Indonesia, di Universitas Indonesia baru-baru ini.
Gerakan urbanisme baru
Gerakan urbanisme baru, lahir di USA, tidak lebih dari satu dasawarsa yang lalu. Kritik terhadap apa yang dianggap oleh para pelopor gerakan ini, sebagai masalah utama lingkungan kota-kota modern di USA. Para pelopor gerakan ini, seperti Peter Calthorpe, Andres Duany, Elizabeth Plater-Zyberk, Daniel Solomon, Sym van der Ryn dan lainnya beranggapan, dua masalah utama yang ditimbulkan oleh bentuk fisik kota-kota modern, atau lebih tepatnya kota-kota pinggiran yang disebut suburban modern, terlalu mengakomodasi kebutuhan kendaraan pribadi.
Menurut pengamatan mereka, akibat bentuk fisik kota-kota modern tersebut, hilangnya sense of community, karena bentukan suburban yang tidak mengakomodasi kebutuhan akan hal ini. Selain itu, polusi udara dan pemborosan penggunaan lahan, serta hilangnya berbagai habitat untuk spesies lain, akibat dari perluasan kota yang berlebihan, ditimbulkan oleh penciptaan lingkungan fisik, yang meningkatkan ketergantungan akan kendaraan pribadi, serta kepadatan yang relatif terlalu rendah.
Menurut Wicaksono, hal ini yang terjadi di USA tahun 50-an, akan terjadi di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, mengingat pemerintah merencanakan membangun sekitar 90 ruas jalan tol di seluruh Jawa. Akibatnya, terbentuknya kota-kota suburb yang banyak menimbulkan masalah seperti masalah lingkungan tadi, serta komuniti yang lebih desintegrated, yaitu lebih bersifat individual. “Yang lebih ironisnya, pulau Jawa tidak sama dengan benua Amerika, di mana lahannya sangat luas dan berlebih. Sedangkan pulau Jawa, lahannya subur dan sempit, jika direncanakan pola kota yang sprawling akibat yang ditimbulkan oleh persebaran jalan tol ini, maka kerugiannya akn besar sekali,” tambah Wicaksono. Ia mengharapkan, seharusnya Indonesia tidak melakukan kesalahan yang sudah dilakukan di USA tahun 50-an, mengingat arsitek atau perancang kota tidak bisa menanggulanginya. Tetapi paling tidak, Indonesia harus menyadari akibat yang akan ditimbulkan dari banyaknya jaringan jalan tol di pulau Jawa.
Awal pergerakan New Urbanism, terdapat dua aliran dalam pendekatan perancangan, di mana masing-masing melihat dari sudut pandang yang berbeda. Aliran pertama, dipelopori oleh Andres Duany dan Elizabeth P.Z., yang gencar mempromosikan perancangan kota “neo-tradisional”, atau lebih populer dengan nama Traditional Neighborhood Development (TND). Pemikiran dasarnya, adalah fisik kota-kota tradisional (di USA), lebih berhasil dalam mengakomodasi kebutuhan pembentukan komunitas serta lebih ramah terhadap lingkungan, dibanding dengan kota-kota modern. Sehingga dapat dipelajari dari kota-kota tradisional ini, dan kemudian diadaptasikan dalam konteks sekarang, menjadikan kota-kota modern bisa lebih akrab terhadap komunitas dan lingkungan. Salah satu karakteristik dari pendekatan ini, penekanan pada penggunaan pedoman rancangan kota atau disebut urban design guidelines, yang bersifat tipologis, sebagaimana banyak dipakai dalam masyarakat tradisional.
Transit Oriented Development (TOD), yang dipelopori oleh Peter Calthorpe and partners, merupakan aliran kedua dari gerakan Urbanisme Baru ini. Pengorientasian rancangan fisik kota kepada kemudahan penggunaan sistem “transit” atau angkutan umum, dengan sendirinya meninggalkan kendaraan pribadi dalam mobilitas sehari-hari. Maka pola jalan, kepadatan dan pola guna lahan, diatur sedemikian rupa. Sehingga, berjalan kaki dan naik kendaraan umum terasa lebih nyaman daripada naik kendaraan pribadi.
Melalui pendekatan ini, daerah-daerah hunian dirancang dengan bentuk yang dinamakan pedestrian pocket atau “kantong-kantong pejalan kaki”. Di mana berjalan kaki ke tempat-tempat pemberhentian kendaraan umum dapat terasa nyaman. Selanjutnya, kumpulan kelompok hunian ini, membentuk suatu “transit village“, di mana fungsi-fungsi publik dan komersial digabungkan dengan fungsi hunian, dan diletakkan berdekatan dengan simpul-simpul transportasi.
Menurut Wicaksono, bentuk angkutan umumnya sendiri, tidak harus berupa kereta bawah tanah (subway) atau heavy rail system yang mahal, tetapi bisa juga light rail system atau bus system yang relatif lebih murah. “Bahkan dalam penerapannya di negara berkembang seperti Indonesia, pemanfaatan sistem “para transit”, yaitu angkutan umum yang berdaya angkut kecil tetapi sangat fleksibel, bisa didayagunakan, asalkan diatur dengan baik,” ujar Wicaksono dalam dialognya. Ia menambahkan, perlu penegasan dalam pendekatan ini, kebutuhan akan pemakaian kendaraan pribadi bukannya diabaikan, mengingat hal ini tidak mungkin, hanya saja tidak didudukkan sebagai orientasi rancangan.
Dengan semakin besarnya gerakan ini, dan bergabungnya pelaku pembangunan kota dari berbagai bidang profesi, seperti akademisi, pengembang, pemerintah kota, aktivis lingkungan, dan lainnya, maka kedua aliran bergabung. Berbagai gagasan dan nomenclature dibicarakan dalam Congress of the New Urbanism (CNU), yang diselenggarakan setahun sekali. CNU mencetuskan apa yang dinamakan The Charter of the New urbanism, yang terdiri dari 27 kaidah rancangan dari berbagai tingkat, seperti regional, kota maupun ketetanggaan.
Kritik terhadap gerakan Urbanisme baru
Gerakan ini, tentunya tidak terlepas dari berbagai kritik, baik yang merupakan pembelaan, maupun kritik terhadap keterbatasan yang dimiliki oleh perancang fisik kota, yang tidak akan mampu mengatasi berbagai masalah sebagaimana yang disebutkan dalam retorik para pelopor Urbanisme Baru.
Salah satu kritik yang paling vokal, adalah Urbanisme Baru melalui karya pelopor-pelopornya, tidak berhasil menahan terjadinya urban sprawl. Kota-kota baru yang dirancang oleh para pelopor gerakan ini, banyak yang terletak di luar kota, dan dengan sendirinya merupakan bagian dari urban sprawl. Walaupun, kota-kota baru itu kompak dan berorientasi kepada sistem transit.
Sebuah penelitian menunjukkan, kumpulan-kumpulan hunian berorientasi transit tersebut, di tengah-tengah sistem perkotaan yang secara keseluruhan berorientasi kepada penggunaan kendaraan pribadi, tidak mampu mengurangi jumlah perjalanan secara berarti. Sedangkan kritik lain mengatakan, banyak kaidah urbanisme baru belum diteliti secara ilmiah kebolehannya dalam mencapai tujuan yang baik. Sebagai tanggapan terhadap kritik-kritik tersebut, kongres urbanisme baru berusaha melakukan perbaikan-perbaikan, baik dengan melakukan penelitian maupun pembuktian yang mendukung gagasan-gagasan yang dipromosikan.
Relevansinya dengan pola perkembangan kota di Indonesia
Dalam dialognya, Wicaksono menjelaskan, walaupun gerakan urbanisme baru, tumbuh di USA, namun terdapat beberapa kaidah dari gerakan ini yang relevan dengan situasi di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Seperti di skala regional, pembangunan jalan-jalan tol yang lebih diutamakan daripada pembangunan sistem angkutan massal, sehingga diperkirakan akan semakin mendorong terjadinya urban sprawl, serta ketergantungan terhadap penggunaan kendaraan pribadi.
Di skala kota, penelantaran sarana untuk pejalan kaki, penataan guna lahan yang sedemikian rupa, sehingga tidak mengundang terjadinya perjalanan kaki, serta pengakomodasian yang berlebih terhadap kebutuhan penggunaan kendaraan pribadi. Hal ini dapat dilihat di kota-kota yang sudah ada, maupun rencana-rencana dari kota-kota baru. “Kita dapat melihat saat pameran perumahan, di mana umumnya terlihat pada master plan-nya, yang sangat berorientasi pada kendaraan pribadi,” jelas Wicaksono. Ia menambahkan, kawasan JABODETABEK, yang sering dijadikan model perencanaan kota oleh kota-kota lain di Indonesia, justru merupakan pencerminan dari masalah-masalah kota modern tersebut di atas.
Menurut arsitek yang mengkhususkan di bidang urban and environmental design ini, para arsitek harus mempromosikan kaidah-kaidah rancangan yang mengarah kepada pembentukan kota yang lebih kompak, memperhatikan faktor-faktor lingkungan dan komunitas, sebagaimana dipromosikan oleh gerakan urbanisme baru. “Sebagai perwujudannya, kita juga harus hati-hati dalam mempelajarinya, dikontekskan dengan penyesuaian di Indonesia. Untuk itu, kota perlu belajar dari cara-cara maupun substansi dari gerakan urbanisme baru untuk membuat kota-kota akrab dengan lingkungan dan komunitas,” ujar Wicaksono mengakhiri dialognya.