Skip to content
Home » Artikel » Indonesia dalam Ancaman Dutch Disease

Indonesia dalam Ancaman Dutch Disease

Dutch Disease adalah suatu keadaan malapetaka ekonomi yang datang dari kekayaan sumber daya alam

Ketika ekspor sumber daya alam melonjak, mata uang menguat, sektor manufaktur dan pertanian menjadi tidak mampu bersaing sehingga berujung pada kemunduran. 

Namun, ketika harga komoditas turun, negara justru menghadapi resesi dan gelombang pengangguran besar. Seperti namanya, fenomena ini awalnya terjadi di Belanda pada akhir 1960-an setelah penemuan gas alam di Groningen.[1]

Kenapa menjadi buruk?

Penemuan gas alam di Groningen memang betul mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan rata-rata kenaikan PDB 5,1% per tahun dan pendapatan per kapita 3,7% per tahun pada 1947–1973. 

Namun, ketika krisis minyak global menghantam dan cadangan gas mulai menurun pada tahun 1973 dan 1979, pertumbuhan ekonomi Belanda melambat tajam dibanding negara Eropa Barat lainnya karena sektor non-gas tidak mampu menopangnya. Kondisi ini diperparah dengan pertumbuhan penduduk yang relatif cepat sehingga pertumbuhan pendapatan per kapita tidak setinggi pertumbuhan PDB.[2]

Bukan hanya Belanda. Nigeria, Venezuela, dan Nauru juga menjadi pelajaran penting bahwa kekayaan sumber daya alam yang mereka miliki justru membawa kerentanan ekonomi akibat ketergantungannya pada komoditas dan kurangnya diversifikasi ekonomi.[3]

Kapan anugerah sumber daya alam berubah menjadi petaka?

  1. Ketika pendapatan dalam negeri dari sektor sumber daya alam meningkat diiringi dengan peningkatan permintaan dan kenaikan harga barang dalam negeri, sementara harga produk manufaktur tidak bisa ikut naik karena mengikuti harga pasar dunia.
  2. Ketika sektor sumber daya alam tumbuh pesat dan menarik banyak tenaga kerja dan modal, sementara sektor lain kekurangan tenaga kerja dan modal yang mengakibatkan pada menurunnya produktivitas.

Ismail (2010) meneliti dampak kenaikan harga minyak terhadap sektor manufaktur. Hasilnya, 

Kenaikan 10% dalam pendapatan minyak menyebabkan penurunan 3,4% pada nilai tambah sektor manufaktur. Dampak ini akan lebih besar terasa pada negara yang lebih terbuka pada arus modal internasional dan sektor manufaktur yang padat karya.[4]

Seperti tidak asing, bukan?

Indonesia kini sedang berkomitmen untuk memperluas hilirisasi di berbagai sektor, seperti nikel, tembaga, dan batu bara sebagai strategi meningkatkan nilai tambah domestik. Namun, di tengah potensi keuntungan ekonomi jangka pendek, Indonesia perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam fenomena Dutch Disease.

PDB tahun 2022 Indonesia menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian hanya berkontribusi 12,2%. Ini belum dengan eksternalitas negatif sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut. 

Studi oleh Greenpeace (2024) menyatakan, bahwa ketika Indonesia mulai meninggalkan sektor ekstraktif dan bertransisi menuju ekonomi hijau, dalam 10 tahun PDB Indonesia dapat bertambah hingga Rp2.943 triliun atau setara dengan 14,3% dari PDB tahun 2024. Sementara jika Indonesia terus mengandalkan sektor ekstraktifnya, hanya mampu mencapai Rp1.843 triliun dalam 10 tahun.[5]

Bagaimana menghindari jebakan Dutch Disease?

Indonesia, khususnya kawasan timur, sudah saatnya mengakhiri ketergantungannya pada industri ekstraktif, memperkuat diversifikasi ekonomi dengan menyeimbangkan hilirisasi industri dengan pengembangan sektor-sektor perkotaan bernilai tambah tinggi, seperti manufaktur, perdagangan, jasa, dan ekonomi kreatif.

Arah ini sejalan dengan Kebijakan Perkotaan Nasional (KPN) 2045 yang menekankan pentingnya pengembangan wilayah metropolitan di luar Jawa sebagai pusat pertumbuhan baru. 

Tanpa arah pembangunan yang seimbang, Indonesia berisiko terjebak dalam deindustrialisasi.

Referensi

[1] Brahmbhatt, M., Canuto, O., & Vostroknutova, E. (2010, Juni). Dealing with Dutch Disease. Economic Premise, No. 16. World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/server/api/core/bitstreams/d8c90288-abd8-5876-999c-1e09ff1a281a/content

[2] De Haan, J., & de Jong, H. (1994, Januari). Characteristics of Economic Growth in the Netherlands During the Post-war Period. SourceRePEc. University of Groningen. https://ideas.repec.org/

[3] Darmawan, A. P., & Dzulfaroh, A. N. (2025, Juni 14). Daftar 5 Negara yang Hancur karena Pertambangan. Kompas.com. https://www.kompas.com/tren/read/2025/06/14/120000165/daftar-5-negara-yang-hancur-karena-pertambangan

[4] Ismail, K. (2010, April). The Structural Manifestation of the ‘Dutch Disease’: The Case of Oil Exporting Countries. Working Paper 10/103. International Monetary Fund. https://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2010/wp10103.pdf

[5] Greenpeace Indonesia & CELIOS. (2024, Desember 19). Dampak Transisi Ekonomi Hijau terhadap Perekonomian, Pemerataan, dan Kesejahteraan Indonesia. Greenpeace Indonesia. https://www.greenpeace.org/static/planet4-indonesia