Pembangunan yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi sering kali dilakukan dengan mengorbankan ekologi
Seperti yang sedang banyak dibicarakan kini, vonis yang dijatuhkan kepada para koruptor lingkungan, antaranya Harvey Moeis, Helena Lim, dan Mochtar Riza Pahlevi, beserta pelaku lainnya, menuai kecaman dari masyarakat karena dinilai tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Akibat perbuatan mereka, negara merugi hingga Rp300 triliun—Rp271 triliun di antaranya adalah kerugian ekologi.[1]
Bank Dunia menaksir kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim akan mencapai 2,5 hingga 7 persen dari PDB pada tahun 2100[2]
Padahal, studi yang dilakukan oleh Pirmana dkk. (2021) menunjukkan bahwa biaya lingkungan Indonesia pada tahun 2010 sudah mencapai Rp915 triliun atau setara dengan 13% dari PDB saat itu.[3]
Angka ini, yang dua kali lipat anggaran pembangunan infrastruktur, masih dianggap kecil mengingat keterbatasan data publik yang tersedia.
Pengesahan Omnibus Law pada tahun 2020 semakin melemahkan aturan lingkungan hidup
Beberapa ketentuan, seperti penghapusan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan AMDAL dan batas minimal luas kawasan hutan yang harus dipertahankan, diubah dengan dalih efisiensi waktu dan biaya guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan percepatan degradasi lingkungan.[4]
Belum lagi dengan isu akan dilakukannya ekspansi lahan perkebunan sawit. Dalam pernyataan Presiden Prabowo yang kontroversial akhir-akhir ini, disampaikan bahwa kita tidak perlu khawatir dengan deforestasi karena sawit pun memiliki daun (yang bisa menyerap karbon dioksida).[5]
Memang betul adanya bila sawit bisa menyerap karbon dioksida. Namun, jika dibandingkan dengan kemampuan hutan dengan berbagai varietas tumbuhan di dalamnya, tentu hutan melakukannya dengan lebih baik.[6]
Studi yang dilakukan oleh Koalisi Moratorium Sawit menyatakan bahwa sawit memiliki batas atas daya tampung optimal, yaitu 18,15 juta hektare.[7]
Nyatanya, per tahun 2023, luas perkebunan sawit sudah mencapai 16,83 juta hektare.[8] Jika ekspansi terus dilakukan, maka negara harus siap menerima kerugian ekonomi dan ekologi yang lebih besar.
Terkait dengan deforestasi,
Ketika kita membicarakannya, ini bukan hanya tentang penyerapan karbon, melainkan juga menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat adat, flora, dan fauna. Terlebih lagi, KLHK menegaskan bahwa sawit bukanlah tanaman hutan[9] sehingga pilihan untuk membabat hutan (lagi) dan menggantikannya dengan sawit bukanlah keputusan yang bijak.
Kerugian ekologi sering kali masih terabaikan sebab dampaknya baru akan terasa dalam jangka panjang
Regulasi lingkungan perlu diperkuat, termasuk dengan pengganjaran para pelaku korupsi lingkungan, sebagai bagian dari pengedukasian kepada masyarakat bahwa kerusakan lingkungan bukanlah masalah sepele.
Referensi
[1] Fika, D. R., & Trianita, L. (2025, January 2). Kejaksaan Agung Jelaskan Asal-Usul Kerugian Rp 300 Triliun dalam Korupsi Timah. Tempo. https://www.tempo.co/hukum/kejaksaan-agung-jelaskan-asal-usul-kerugian-rp-300-triliun-dalam-korupsi-timah-1188740
[2] Pirmana, V. (2022, February 14). Riset: biaya lingkungan Indonesia nyaris seribu triliun setahun, ini 10 besar penyebabnya. The Conversation. https://theconversation.com/riset-biaya-lingkungan-indonesia-nyaris-seribu-triliun-setahun-ini-10-besar-penyebabnya-176697
[3] Pirmana, V., Alisjahbana, A. S., Yusuf, A. A., Hoekstra, R., & Tukker, A. (2021). Environmental costs assessment for improved environmental-economic account for Indonesia. Journal of Cleaner Production, 280, 124521.
[4] Saturi, S. (2020, October 21). Mengapa Lingkungan Hidup Terancam dengan Ada Omnibus Law?. Mongabay.co.id. https://www.mongabay.co.id/2020/10/21/mengapa-lingkungan-hidup-terancam-dengan-ada-omnibus-law
[5] Intan, G. (2025, January 2). Aktivis Lingkungan: Pernyataan Prabowo Soal Sawit dan Deforestasi Membahayakan. VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/aktivis-lingkungan-pernyataan-prabowo-soal-sawit-dan-deforestasi-membahayakan/7922112.html
[6] Butler, R. (2007, November 8). Oil palm does not store more carbon than forests. Mongabay Environmental News. https://news.mongabay.com/2007/11/oil-palm-does-not-store-more-carbon-than-forests/
[7] Satya Bumi. (2024, November 14). [Policy Brief] Urgensi Perbaikan Tata Kelola Sawit melalui Kebijakan Penghentian Pemberian Izin dalam Perspektif Ekonomi dan D3TLH. https://satyabumi.org/policy-brief-urgensi-perbaikan-tata-kelola-sawit/
[8] Ahdiat, A. (2024, June 6). Luas Perkebunan Sawit Indonesia Tumbuh 56% dalam Sedekade. Katadata. https://databoks.katadata.co.id/agroindustri/statistik/db7162f670e7610/luas-perkebunan-sawit-indonesia-tumbuh-56-dalam-sedekade
[9] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2022). KLHK Tegaskan Sawit Bukan Tanaman Hutan. https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/6404/klhk-tegaskan-sawit-bukan-tanaman-hutan