Skip to content
Home » Artikel » Kota yang Berkeadilan

Kota yang Berkeadilan

IMG_1379

[Telah dipublikasikan di Koran Seputar Indonesia, 1 Oktober 2007]

Tema Hari Habitat—yang selalu dilaksanakan di seluruh dunia setiap hari Senin pertama bulan Oktober—tahun 1997 adalah “A safe city is a just city”. Dengan ini, Perserikatan Bangsa Bangsa hendak mengingatkan bahwa kota yang aman berarti juga kota yang berkeadilan karena memungkinkan siapa saja—wanita, anak-anak, minoritas, difabel, kaya maupun miskin—untuk beraktivitas di kota tanpa harus merasa takut atau was-was akan terjadi hal-hal yang mengganggu rasa aman mereka. Di sini penekanannya memang lebih kepada penciptaan kota yang aman.

Namun, kita bisa juga memaknainya secara terbalik: “A just city is a safe city,” dengan penekanan pada upaya penciptaan kota yang berkeadilan. Kota yang berkeadilan adalah kota yang dapat memberi peluang kurang lebih sama bagi siapa saja untuk tinggal dan bekerja di kota tersebut. Dan karena di era yang serba kapitalistik ini mereka yang berpenghasilan menengah ke atas selalu dapat menawar lokasi yang terbaik, maka persoalannya dapat dipersempit menjadi bagaimana memberi akses ruang kota bagi kaum miskin.

Dilema yang Ada
Menyediakan ruang kota bagi kaum miskin bukan persoalan gampang karena dengan semakin padatnya kota-kota kita, maka semakin mahal pula harga lahan di dalam kota. Jika hanya mekanisme pasar yang bekerja, maka niscaya kaum miskin akan tersingkir jauh ke kawasan pinggiran yang masih murah. Ini pun semakin tidak mudah didapat. Atau mereka terpaksa harus menyusup ke ruang-ruang sempit seadanya di dalam kota, termasuk tinggal di kolong-kolong jalan tol. Ketika urusan sesuap nasi untuk esok hari saja masih belum jelas, legalitas dan keselamatan sendiri maupun orang lain menjadi urusan entah nomor berapa.

Di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk “melengkapi” mekanisme pasar yang ada. Penulis sebut “melengkapi” karena memang sebaiknya pemerintah—selain sebagai regulator untuk memastikan berjalannya sistem pasar yang adil—hanya berperan langsung di bidang-bidang di mana pasar tidak bisa berfungsi sama sekali (terjadi market failures).

Jika pasar sudah bekerja dengan baik dalam menyediakan ruang kota bagi kaum menengah ke atas, biarlah jangan diintervensi dengan segala macam aturan yang memberatkan. Namun biasanya pasar (formal) gagal melayani kebutuhan akan ruang kota untuk tinggal dan berusaha bagi kaum miskin, khususnya yang berada di sekitar dan di bawah garis kemiskinan. Walaupun 60% penduduk miskin saat ini masih tinggal di perdesaan, jumlah absolut kaum miskin di perkotaan diperkirakan akan meningkat seiring dengan pesatnya arus urbanisasi.

Dan kalau upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan ruang kota bagi kaum miskin ini tidak efektif, maka alternatifnya adalah berkembangnya pasar informal ruang kota: proses produksi dan jual beli ruang tinggal serta ruang untuk mencari nafkah secara tidak teregulasi bahkan terkadang melanggar regulasi atau ilegal (dengan derajat ilegalitas yang berbeda-beda) karena memang ada kebutuhan ruang kota yang gagal dipenuhi oleh pasar formal.

Setidaknya ada dua fenomena saling kait-mengkait yang perlu dicermati pada dinamika pasar formal-informal ruang kota, khususnya jika pemerintah memilih berpangku tangan atau melakukan tindakan yang kurang tepat. Pertama cepat atau lambat kekuatan finansial pasar formal akan terus-menerus mendesak pasar informal ke lokasi-lokasi yang tidak menguntungkan. Kedua, pada saat yang sama pasar informal tidak akan menyusut begitu saja jika memang tidak ada perbaikan yang signifikan pada penduduk dengan penghasilan menengah ke bawah, karena sejatinya pasar informal merupakan cermin dari struktur sosial-ekonomi masyarakat secara umum. Akibatnya akan terjadi ketegangan (tensions) sosial yang berkelanjutan.

Di luar aspek legal-formal, sebenarnya pasar informal dalam produksi ruang tinggal dan ruang untuk mencari nafkah (kaki lima, ojek, dan lain-lain) di kota adalah syah saja karena toh “diterima” oleh masyarakat luas (kecuali kalau sudah masuk ke ranah kriminal). Bahkan selain memberikan ruang bagi kaum miskin untuk menjalani kehidupannya di kota, pasar informal ini juga sebenarnya “mensubsidi” korporasi-korporasi formal yang menggaji karyawannya sedemikian “rendah” sehingga tidak memungkinkan untuk setiap siang hari makan di restoran formal atau membayar biaya transportasi yang mahal.

Namun sektor informal perkotaan pun memiliki sisi negatif. Antara lain, sektor ini tidak memberi jaminan kepastian status hukum, rentan terhadap bahaya yang bisa merugikan sendiri atau orang lain, menguasai ruang-ruang publik yang sebenarnya punya fungsi lain serta rentan terhadap pemerasan. Hal yang terakhir ini menurut hemat penulis adalah yang paling serius tetapi jarang dipertimbangkan baik oleh pemerintah kota yang ingin membatasi ruang gerak ekonomi informal perkotaan maupun oleh para aktivis pembela hak-hak kaum miskin untuk tinggal di kota.

Jumlah dan alur uang hasil pemerasan di sektor informal perkotaan ini sulit diketahui tetapi diperkirakan sangat besar. Jika di Jakarta terdapat 200,000 PKL (sebuah estimasi konservatif) yang setiap harinya masing-masing membayar berbagai “setoran” senilai Rp. 5000.- (juga sebuah angka yang konservatif karena di beberapa tempat strategis bisa lebih dari Rp. 15,000.- ke beberapa “penagih”), maka apa yang disebut oleh ILO (International Labour Organization) sebagai parallel structure ini bisa mencapai satu miliar rupiah per hari dan kurang lebih 25 miliar rupiah per bulan (300 miliar rupiah per tahun!). Ini hanya dari salah satu sektor perdagangan informal (PKL) saja. Masih banyak aktivitas kehidupan informal yang lain yang juga rentan pemerasan.

Fenomena disebut parallel structure karena alur arus uang dari bawah ke atas ini sejajar dengan alur arus uang formal yang berupa pajak-pajak. Bedanya, parallel structure ini tidak transparan, tidak akuntabel dan bahkan entah masuk ke mana. Jika parallel structure menjadi lebih besar daripada uang legal yang mengalir ke kas negara, maka otoritas negara/pemerintah menjadi lemah vis-a-vis kekuatan uang gelap. Ini merupakan salah satu ciri ’negara gagal.’

Lantas bagaimana?
Oleh karena itu pemerintah harus secara strategis mengupayakan peluang bagi kaum miskin untuk dapat hidup secara lebih layak di dalam kota. Kementerian Negara Perumahan Rakyat memang sedang giat mewujudkan pembangunan rumah susun 1000 menara di kota-kota besar di Indonesia. Namun, meski subsidi akan membantu kaum miskin untuk masuk ke dalam rusun tersebut, kemampuan kaum miskin untuk membiayai perawatan dan operasionalnya masih diragukan. Apakah harus disubsidi terus menerus (menjadi semacam perumahan sosial)? Ataukah ada cara lain yang dapat meningkatkan kapasitas sosial-ekonomi mereka sehingga suatu saat mampu memeliharanya sendiri.

Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan upaya perbaikan kampung-kampung kota. Adalah sedikit ironis melihat kenyataan bahwa program Baan Mankong di Thailand, yang dulu belajar dari program Kampung Improvement Program di Jakarta sekarang justru menjadi kiblat bagi kita untuk belajar bagaimana memperbaiki kehidupan mereka-mereka yang tinggal diperkampungan kumuh kota. Pun harus didukung upaya multi-pihak untuk mewujudkan apa yang disebut Housing Resource Center atau Baledaya Perumahan yang ditujukan untuk membantu pembangunan perumahan secara swadaya tapi tertata dengan baik.

Persoalan pengadaan lahan memang yang paling rumit dan bisa menjadi kendala bagi berbagai program pemerintah yang ada. Apalagi pemerintah terlanjur tidak mempersiapkan secara khusus bank-lahan (land bank) sebelum harga lahan menjadi mahal. Namun sebenarnya masih cukup banyak lahan-lahan milik negara yang bisa dimanfaatkan bagi tempat tinggal kaum miskin secara intensif, terencana dan tertata. Spekulasi lahan bisa dimitigasi dengan menerapkan disinsentif fiskal atau pajak progresif bagi mereka yang menyimpan lahan hanya untuk dijual kembali tanpa melakukan perbaikan apa-apa.

Akhir kata, hanya dengan memberikan peluang bagi semua pihak untuk dapat tinggal di dekat sumber-sumber nafkahlah kota yang berkeadilan dapat diwujudkan. Harapannya, jika warga dari berbagai latar-belakang sosial-ekonomi bisa hidup berdampingan secara rukun (tanpa ‘ketegangan’ atau kesalingcurigaan) maka kota akan menjadi lebih aman, manusia menjadi lebih produktif, bangsa menjadi lebih maju. Moga-moga.