Selama 20 tahun, Indonesia menutup keran ekspor pasir laut melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 177 Tahun 2003, akibat dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh penambangan pasir laut. Kebijakan ini terutama dipicu oleh kasus di Pulau Nipa, Batam, Kepulauan Riau. Kala itu, ekspor pasir laut ke Singapura hampir menenggelamkan pulau yang menjadi penanda perbatasan Indonesia-Singapura akibat abrasi yang parah.[1]
Namun, pada tahun 2023, dengan disahkannya Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023, larangan ini resmi dicabut. Pemerintah berdalih bahwa yang dikeruk adalah pasir sedimentasi untuk menjaga kelancaran pelayaran dan tidak merusak lingkungan. Argumen ini menimbulkan skeptisisme, mengingat dampak buruk yang sudah terbukti di masa lalu.
Selain Pulau Nipa, kasus di Pulau Kodingareng, Makassar juga menjadi pelajaran penting. Meski penambangan pasir di sana sudah berhenti, dampaknya masih terasa hingga kini. Pendapatan nelayan merosot drastis, banyak warga terpaksa pindah, dan prediksi waktu melaut semakin sulit akibat perubahan iklim. Jumlah tangkapan ikan menurun, sementara biaya operasional terus meningkat. Ini menunjukkan betapa besar dampak penambangan pasir laut pada masyarakat pesisir.[2]
Tak hanya di Indonesia, kebijakan pelarangan ekspor pasir laut ini juga menginspirasi negara-negara tetangga seperti Kamboja, Vietnam, dan Malaysia untuk mengambil langkah serupa. Mereka menghentikan ekspor pasir laut ke Singapura dengan alasan kerusakan lingkungan, penyelundupan, serta korupsi yang mengiringi kegiatan penambangan pasir.[3]
Lantas, mengapa ekspor pasir laut jangan sampai dibuka kembali? Saat ini, banyak pulau kecil di Indonesia sudah berada di ambang tenggelam akibat krisis iklim. Ekspor pasir laut hanya akan memperburuk situasi ini, terutama karena abrasi yang ditimbulkannya mempercepat hilangnya pulau-pulau kecil. Hal ini juga memperparah kondisi ekonomi nelayan yang sudah kesulitan akibat krisis iklim, memaksa mereka beralih profesi karena hasil laut yang semakin menipis.[4]
Oleh karena itu, menjaga keberlanjutan lingkungan pesisir harus menjadi prioritas. Pembukaan kembali ekspor pasir laut hanya akan merusak lingkungan dan memperburuk kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada ekosistem pesisir.
Referensi
[1] Idris, M. (2023, Mei 29). Sejarah Kelam Ekspor Pasir Laut, Batam Rusak, Singapura Makin Luas [Halaman web]. Diakses dari https://money.kompas.com/read/2023/05/29/140248726/sejarah-kelam-ekspor-pasir-laut-batam-rusak-singapura-makin-luas
[2] Chandra, W. (2021, Mei 28). Begini Nasib Perempuan Pulau Kodingareng Setelah Penambangan Pasir Laut Berakhir [Halaman web]. Diakses dari https://www.mongabay.co.id/2021/05/28/begini-nasib-perempuan-pulau-kodingareng-setelah-penambangan-pasir-laut-berakhir/
[3] Fauzan, A.A. (2023, Juni 13). Kemelut Ekspor Pasir Laut, RI Potensi Rugi Triliunan [Halaman web]. Diakses dari https://tirto.id/kemelut-ekspor-pasir-laut-ri-potensi-rugi-triliunan-gLDs
[4] WALHI [@walhinasional]. (2024, September 16). Kenapa kita semua harus menangis ketika keran ekspor pasir laut dibuka [Tweet]. Twitter. https://x.com/walhinasional/status/1835667188013044105