Skip to content
Home » Artikel » Meningkatkan Kesadaran Bio-Regional

Meningkatkan Kesadaran Bio-Regional

Dok: Ardina Putri Rahtama

Ditulis oleh: Wicaksono Sarosa

Walau telah banyak yang dihasilkan oleh gerakan lingkungan hidup selama lebih dari seperempat abad terakhir ini, baik yang berbentuk regulasi pemerintah maupun kesadaran masyarakat, namun bukan berarti bahwa bumi kita ini sudah aman dari ancaman penurunan kualitas lingkungan yang mendasar. Yang terjadi justru sebaliknya. Perkembangan teknologi dan ekonomi di penghujung abad ini tampaknya memberikan tantanganbaru bagi gerakan lingkungan hidup. Meskipun demikian, jawabannya tidaklah harus merupakan hal yang baru. Ternyata ada saja ide-ide lama yang bisa diolahuntuk menjawab tantangan baru.

Tulisan ini mengungkit kembali sebuah pemikiran dalam gerakan lingkungan hidup yang sempat lama “terkubur” tetapi ternyata berpotensi untuk membantu menjawab tantangan baru ini. Pemikiran tersebut adalah konsep bioregional-ism yang muncul di awal 1970-an, dan kemudian tenggelam di tengah-tengah berbagai macam pemikiran di dalam gerakan lingkungan hidup. Namun akhir-akhir ini, ide ini kembali dibicarakan orang terutama dikaitkan dengan sulitnya mengejawantahkan gagasan pembangunan berkelanjutan-lingkungan (environmentally sustainable development) dalam tingkat lokal dan merealisasikan apa yang dinamakan “kemandirian lokal” di tengah-tengah semakin merebaknya kapitalisme yang dibawaoleh transformasi global di bidang ekonomi, politik dan teknologi sebagaimana yang kita rasakan selama krisis.

Transformasi Global

Sebagaimana yang telah kita rasakan bersama, saat ini sedang terjadi sebuah transformasi yang luar biasa di bidang ekonomidan teknologi yang salah satu konsekuensinya adalah semakin dekatnya apa yangdinamakan “global” dengan apa yang dinamakan “lokal”. Bahkan bumi ini sering menunjukkan betapa saling kait-mengkaitkannya satu komunitas dengan komunitas lain di planet bumi ini. Mau tidak mau, semakin banyak pengaruh dari perkembangan dunia yang masuk ke dalam komunitas lokal atau kadang-kadang sebaliknya. Prosesnya pun cenderung berlangsung secara lebih cepat.

                Sebagaimana yang telah banyak di ulas oleh para ekonom, beberapa faktor utama yang membuat dunia ini semakin berorientasi kepada sistem pasar bebas terjadi di tahun 1980-an. Kesuksesan segelintir negara Asia dalam mengadopsi pendekatan export-oriented industrialization memberikan inspirasi kepada hampir semua negara berkembang lain untuk mengadopsi pendekatan yang sama. Namun, kegagalan beberapa negara berkembang dalam membayar utangnya (baik utang pemerintah seperti yang dialami negara-negara Amerika Latin saat itu maupun utang swasta seperti yang dialami negara-negara Asia saat ini) serta kegagalan pendekatan Keynesian dalam menjelaskan fenomena stagflation menyebabkan lembaga-lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia dan IMF mensyaratkan deregulasi struktural dengan mengurangi campur tangan pemerintah di bidang ekonomi. Tentu saja, kehancuran ideologi komunisme di tempat kelahirannya di Eropa Timur semakin mendorong ke arah kapitalisme.

                Pada saat yang sama, perkembangan teknologi telekomunikasi, komputer dan  informasi—termasuk semakin terjangkaunya pengguna internet dimana-mana—telah membuat dunia ini semakin transparan. Aliran informasi seolah-olah tidak mengenal batas-batas fisik, jarak dan waktu.

                Transformasi global yang memang tak terhindari ini tentunya membawa akibat baik dan buruk dihampir semua bidang kehidupan. Akibat yang baik antara lain adalah meningkatnya tuntutan akan transparasi, demokrasi dan partisipasi luas di setiap keputusan yang akan mempengaruhi hajad hidup orang banyak. Jika tuntutan semacam initerpenuhi, pengaruhnya terhadap lingkungan memang bersifat tidak langsung dan belum tentu sepenuhnya positif. Tetapi telah banyak argumen yang menunjukkan bahwa karena masyarakat lokal dianggap lebih mengenal kondisi lingkungan lokalmaka memberi peluang yang lebih besar kepada masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai memberi peluang lebih besar terhadap pemeliharaan lingkungan.

                Disamping itu, revolusi informasi yang sedang berlangsung juga memberikan akses yang lebih baik bagi masyarakat lokal untuk menggapai khasanah pengetahuan yanglebih besar, termasuk pengetahuan tentang berbagai masalah lingkungan globalmaupun lokal di daerah lain beserta upaya-upaya pemecahannya. Dengan demikian, para pengambil keputusan tidak bisa apriori beranggapan bahwa masyarakat lokal memiliki pengetahuan yang terbatas sehingga keikutsertaannya dalam pengambilan keputusan pun perlu dibatasi.

                Sementara itu, akibat buruk dari transformasi global ini terhadap lingkungan alam masih perlu kita amati secara lebih seksama. Salah satu dampak kapitalisme—yang telah menjadi paradigma ekonomi tunggal—adalah pelonjakan tingkat konsumsi karena hal ini memang merupakan bagian dari pertumbuhan ekonomi yang selalu diinginkan dalam kapitalisme. Konsekuensinya adalah peningkatan eksploitasi sumber daya alam dan produksi sampah yang pada saat ini saja sudah mulai menjadi masalah. Upaya pemanfaatan daur ulang—walaupun sudah semakin meluas—tampaknya tidak akan dapat mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan tingkat konsumsi yang pesatini.

                Dampak yang lain adalah semakin menyebarnya jangkauan perpindahan materi atau barang dari satu tempat ke tempat lain akibat dari pola produksi dan perdagangan yang semakin tidak mengenal batas-batas teritorial. Hal ini tentu meningkatkan kehadiran unsur asing dalam ekosistem lokal dan menipisnya kemungkinan kembalinya unsur-unsur lokal—misalnya nutrient  yang dalam siklus alamiah seringkali dikembalikan ke tempat asalnya. Globalisasi perdagangan tampaknya menambah rumit siklus semacam ini.

                Tentunya masih banyak dampak lingkungan lain dari informasi global ini terutama karena semakin banyaknya keputusan yang diambil melulu berdasarkan pertimbangan ekonomi pasar. Walaupun telah banyak dibicarakan sejak awal dasawarsa ini, gagasan pembangunan berkelanjutan-lingkungan tampaknya masih mengalami kesulitan dalam menjadikan dirinya sebagai paradigma yang dominan bagi para pelaku pembangunan.

Kesadaran Bio-Regional

                Tampaknya, salah satu kunci keberhasilan pengejawantahan gagasan pembangunan berkelanjutan-lingkungan di tingkat lokal adalah adanya kesadaran masyarakat lokal bahwa kehidupan kita dalam banyak hal tergantung pada sumber daya alam dan oleh karenanya sumber daya tersebut perlu kita pelihara. Kesadaran semacam ini biasanya hadir pada masyarakat tradisional tetapi umumnya telah hilang pada masyarakat kota modern.

                Lalu, mengapa mesti lokal? Walau kesadaran semacam ini sebaiknya kita kembangkan di setiap skala: global, nasional maupun lokal, pada skala yang terakhirlah mengkaitkan kehidupan kita dengan lingkungan sekitar akan terasa lebih mudah.

                Sebenarnya bio-regionalisme lebih dari sekedar perkembangan kesadaran. Walaupun banyak mengambil dari inti sari dari pola pikir dan tingkah laku yang ada pada masyarakat tradisional, bio-regionalisme boleh dikatakan merupakan salah satu pemikiran pertama di awal gerakan lingkungan hidup modern yang memasukkan konsep “ruang,“tempat”, dan “wilyah”. Bio-regionalisme menganjurkan agar perwilayahan (dalam tata pemerintahan maupun perencanaan) lebih didasarkan pada karakteristik alamiah dari pada keputusan politis yang dibuat oleh manusia. Dengan ini,“kemandirian lokal” diharapkan dapat lebih mudah terwujud dan pengaruh globalisasi dapat lebih dilunakkan.

                Namun karena kita sudah memiliki batas-batas tata pemerintahan yang pasti dari tingkat RT ke tingkat provinsi-provinsi pembagiannya tidak didasari oleh karakteristik alamiah—membicarakan perwilayahan kembali tata pemerintahan merupakan hal yang tidak realistis lagi. Yang lebih realistis dari kumpulan pemikiran bio-regionalisme ini adalah pegembangan kesadaran akan lingkungan sekitar kita.

                Bio-regionalis memenganjurkan agar kita secara bertahap mengembangkan kesadaran semacam itu dengan secara terus-menerus mengajukan pertanyaan-pertanyaan “sederhana” yang berkaitan dengan ketergantungan kita terhadap alam sekitar kita. Sebagai contoh, sepuluh pertanyaan di bawah ini dapat digunakan sebagai langkah awal untuk memahami keterkaitan antara kehidupan kita dan lingkungan sekitar kita.

                Darimanakah datangnya air yang kita bisa minum (yang kita pakai mandi) ini?; Kemanakah perginya sampah yang kita buang setiap hari?; Ke manakah perginya buangan hajad kita setiap hari?; Bagaimana rasanya kalau air minum kita selalu terkotori oleh sampah?; Ke manakah perginya asap knalpot yang kita sembur kansetiap hari?; Berapa jam setiap harinya waktu yang kita habiskan untuk duduk di dalam mobil?; Bagaimana rasanya kalau udara yang kita hirup setiap hari berupa asap knalpot?; Dari manakah datangnya makanan yang kita makan setiap hari?; tahukah kita akibatnya jika makanan tersebut datang dari tempat yang semakin jauh karena sawah atau kebun di dekat kita sudah menjadi lahan perumahan atau industri?; Tahukah kita (paling sedikit) lima tanaman asli di tempat tinggal kita yang bisa kita makan ? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini itu memang kelihatannya “sederhana”. Tapi marilah kita coba untuk menjawabnya. Mungkin kita sendiri akan terkejut betapa selama ini kita tidak mempedulikan keterkaitan antara lingkungan hidup tempat kita tinggal dengan kehidupan kita sendiri.