Pada 20 Januari 2025, Amerika Serikat – dan by extention dunia – resmi memiliki pemimpin baru yang dikenal bersifat impulsif dan tidak mudah ditebak arahnya, meskipun sebelumnya sudah pernah menjadi presiden AS. Banyak yang mengatakan bahwa satu-satunya yang bisa dipastikan dari Presiden Donald Trump adalah ketidakpastian apa yang akan dilakukan, yang tentunya akan mempengaruhi dunia, mengingat masih besarnya pengaruh AS di dunia.
Walau ketidakpastian selalu ada di setiap saat, namun kembalinya Presiden Trump diperkirakan akan menambah tingkat ketidakpastian dunia yang memang sedang berubah sangat cepat akibat dari berbagai faktor lain. Filsuf kontemporer Noam Chomsky dalam beberapa kesempatan menyampaikan kekhawatiran akan runtuhnya masyarakat yang terorganisasi (organized society) akibat ketidakpedulian individu, korporasi, atau pemerintah terhadap permasalahan bersama, seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial-ekonomi, dan lain-lain.
Padahal ketimpangan sosial ekonomi yang terus meningkat dikhawatirkan bakal memicu ketidakstabilan, sebagaimana yang pernah diingatkan oleh ekonom Joseph Stiglitz dan Thomas Piketty. Sementara itu, sejarawan Yuval Noah Harari serta banyak pengamat lain mengulas berbagai disrupsi yang tidak mudah diantisipasi sebagai akibat perkembangan teknologi.
Banyak faktor lain yang juga berkontribusi pada peningkatan ketidakpastian. Persaingan hegemoni politik, ekonomi, dan teknologi antara Barat yang dipimpin AS dan Tiongkok yang berusaha menggandeng negara-negara berkembang yang gerah dengan dominasi Barat telah membuat dunia semakin terkotak-kotak. Perang Ukraina-Rusia serta kekerasan di Timur Tengah juga meningkatkan ketidakpastian global akibat aksi saling boikot dan memberi sanksi yang membuat dunia semakin terbelah.
Di sisi lain, penerapan standar ganda oleh pihak Barat dalam menggunakan prinsip-prinsip universal, seperti hak asasi manusia, penghormatan atas kedaulatan negara, serta pemakaian label genosida justru melemahkan nilai-nilai pengikat (binding values) yang seharusnya menjadi pondasi dalam tata kelola interaksi antarbangsa.
Semua hal di atas menandai transisi yang rentan (fragile transition) dari dunia yang unipolar ke dunia multipolar yang memiliki beberapa kutub kekuatan relatif seimbang. Transisi yang rentan ini menjadi salah satu sumber ketidakpastian yang tinggi. Situasi yang menyulitkan kita semua—baik individu, organisasi, korporasi maupun negara—terjadi karena pada umumnya kita membutuhkan stabilitas dan kepastian untuk melangkah maju. Kondisi ini membuat prediksi menjadi tidak mudah untuk dilakukan karena perubahan mendatang bakal lebih cepat dan tidak terduga dibanding sebelumnya.
Empat situasi ketidakpastian
Dalam situasi seperti ini, ada baiknya kita melongok sejenak ke sebuah artikel klasik yang berjudul “Coping with Uncertainty in Planning” di Journal of American Planning Association vol. 51, 1985, yang ditulis oleh Profesor Karen Christensen dari University of California, Berkeley. Artikel itu membagi situasi perencanaan ke dalam empat kategori yang disusun dalam sebuah kuadran.

Situasi pertama adalah yang paling ideal dan serba pasti karena para pihak mempunyai kesepakatan tentang tujuan bersama maupun cara untuk mencapai tujuan tersebut. Situasi seperti ini sering ditemui pada “zaman normal”, yaitu para perencana dan pengambil keputusan tinggal melakukan proses rasional (rational process).
Situasi kedua terjadi ketika tujuan sudah disepakati para pihak tetapi cara untuk mencapai tujuan tersebut belum diketahui. Dalam situasi ini, langkah yang diambil sering kali bersifat coba-coba (trial and error) untuk mencari tahu cara yang paling tepat dalam mencapai tujuan.
Situasi ketiga terjadi ketika tidak ada kesepakatan tentang tujuan bersama tetapi terdapat aturan main untuk menyatukan tujuan yang berbeda-beda. Prosesnya adalah tawar-menawar (bargaining process) atau musyawarah untuk mufakat (consensus building). Ada kalanya situasi ini memerlukan mediator yang dipercaya oleh para pihak.
Situasi keempat merupakan keadaan yang paling tidak diinginkan karena tidak ada kesepakatan tentang tujuan maupun mekanisme untuk bekerja sama. Contoh di tingkat global, apakah kita semua ingin dunia yang multipolar atau unipolar? Kemungkinan besar tidak akan pernah ada kesepakatan tentang hal ini karena yang terjadi adalah pertempuran hegemoni. Andaipun warga dunia bisa bersetuju tentang hal itu, kita masih harus tahu dan sepakat cara mewujudkannya. Apakah melalui pendekatan demokratis, meritokratis, atau autokratis?
Situasi serba tidak pasti seperti ini berpotensi menimbulkan kekacauan jika tidak disikapi dengan tepat. Christensen menyarankan langkah-langkah gradual untuk mencari keteraturan (search for order). Kesepakatan harus dibangun secara bertahap agar tidak terjadi kesepakatan pradini (premature consensus) atau ketergesaan langkah (premature programming). Jika hal itu terjadi, maka kesepakatan akan mudah runtuh dan kembali ke situasi serba tidak pasti.
Situasi saat ini
Saat ini, secara umum boleh dikatakan kita belum masuk ke situasi keempat. Namun berbagai perkembangan ekonomi-politik dan teknologi berpotensi membawa kita semua ke situasi yang serba tidak pasti, meski tidak sama di semua tingkatan.
Di tingkat global, ketidakpastian terasa lebih tinggi daripada di tingkat nasional maupun lokal. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan pemerintahan tunggal di tingkat global sehingga tatanan yang telah dibangun mudah diterobos atau diabaikan. Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), misalnya, sudah tidak efektif karena banyak anggotanya yang tidak mematuhi kesepakatan yang telah dibangun. Pengenaan tarif secara sepihak oleh AS kepada produk-produk Tiongkok, yang kemudian mengundan tindakan balasan, tentu melanggar aturan WTO.
Di arena politik, Perserikatan Bangsa Bangsa menjadi kurang efektif ketika ada anggota yang “mbalelo” mengabaikan keputusan Majelis Umum yang memang tidak mengikat. Dewan Keamanan yang memiliki kekuatan pemaksa (enforcing power) justru terbelit saling veto sesama anggota tetap. Sialnya, saat ini kita juga tidak memiliki pemimpin dunia yang karismatik dan kuat yang mampu mengajak para pihak untuk mencari titik temu.
Di tingkat nasional, ketidakpastian mulai berkurang dengan mulai berjalannya pemerintahan baru. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pun sudah dimusyawarahkan sehingga publik dapat melihat arah kebijakan umum lima tahun ke depan. Meski demikian, kebijakan turunan dan pelaksanaan di lapangan masih menyisakan tanda tanya. Persaingan kuasa dan pengaruh di balik layar antar anggota koalisi juga meningkatkan ketidakpastian. Kondisi nasional pun tidak dapat lepas dari situasi global yang masih serba tidak pasti.
Di tingkat lokal, ketidakpastian dari sisi pemerintahan masih lebih tinggi dalam jangka dekat meski sebagian besar hasil pilkada dan visi-misi kepala daerah terpilih sudah dapat dilihat tanpa harus menunggu formalisasi visi-misi tersebut ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Persaingan kuasa dan pengaruh di balik layar juga terjadi di tingkat lokal. Dan ini menambah ketidakpastian.
Bagaimana dengan aktor non-pemerintah? Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh aktor-aktor dengan sumber daya kecil dan menengah selain berusaha menggapai apa yang mudah diraih (low-hanging fruits). Namun, jika kepentingan-kepentingan individual ini tidak dikendalikan untuk menjaga kepentingan bersama (common interests), apalagi jika diwarnai oleh sikap EGP (“emangnyé gué pikirin”), maka dapat terjadi apa yang oleh ekolog Garret Hardin (1968) disebut sebagai “tragedy of the common”—hancurnya ruang/barang publik akibat semua pihak hanya mementingkan diri sendiri.
Aktor non-pemerintah yang bersumber daya besar, baik berupa uang atau pengaruh, memiliki kemampuan untuk mengubah situasi, baik secara langsung oleh tindakan sendiri atau secara tidak langsung dengan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Jika yang terjadi adalah proses di belakang atau bahkan ilegal, maka hal ini justru akan menambah ketidakpastian bagi masyarakat luas. Contoh, masyarakat bertanya-tanya mengapa impor suatu komoditas tertentu terjadi padahal tidak ada kelangkaan komoditas terkait sehingga produsen domestik dirugikan.
Kemajuan teknologi yang biasanya memberikan solusi kali ini juga sekaligus menimbulkan tanda tanya besar. Kita masih belum tahu secara pasti apa atau bagaimana konsekuensi positif dan negatif dari kecerdasan buatan (artificial intelligence – AI) yang semakin hari semakin pintar dan cepat terus belajar secara mandiri (machine learning). AI pun mudah diakses oleh masyarakat luas.
Lantas bagaimana?
Tentu kita tidak boleh pasrah pada ketidakpastian. Kita harus melakukan apa saja yang masih dalam kendali kita. Sedangkan terkait hal-hal yang di luar kendali, kita harus siap mengambil sikap antisipatif dan beradaptasi.
Saran yang sering kali diberikan kepada individu dalam menavigasi ketidakpastian adalah menjaga agar selalu terinformasi tanpa harus terbanjiri informasi yang tidak perlu, belajar terus-menerus untuk meningkatkan keahlian, membangun ketangguhan, memiliki dana cadangan untuk keadaan darurat, memperluas jaringan, menetapkan tujuan jangka pendek yang realistis (bisa dilengkapi dengan “Plan B”), dan lain-lain.
Kepada organisasi dan korporasi, saran yang sering kali diberikan adalah dengan membuat perencanaan skenario, mengembangkan manajemen risiko, membuat organisasi yang lincah (agile) dan inovatif, mendiversifikasi usaha, membangun ketangguhan rantai pasok, membangun kemitraan, serta selalu beradaptasi dengan situasi yang terus berubah. Mengandalkan pasokan yang bersifat lokal umumnya dianggap lebih memberi kepastian daripada mengandalkan pasokan dari tempat lain, khususnya luar negeri. Semakin lokal semakin imun dari ketidakpastian global.
Membuat perencanaan skenario yang adaptif dan dinamis dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang berbeda juga sering kali disarankan kepada pemerintah, baik daerah maupun nasional, dalam menyikapi ketidakpastian yang tinggi. Selain sebaiknya berbasis skenario, rencana pembangunan (terutama yang berjangka menengah dan panjang) dan rencana tata ruang harus lebih terintegrasi. Jika mungkin disatukan.
Selain itu, pemerintah juga harus berupaya lebih keras untuk lebih partisipatif, efisien, dan efektif dalam menggunakan sumber daya publik. Basis ekonomi daerah juga perlu dibuat lebih beragam. Kemampuan daerah untuk siap menghadapi berbagai guncangan menjadi sangat krusial. Kebijakan harus jelas dan tegas tetapi juga sekaligus fleksibel untuk disesuaikan dengan perubahan situasi. Transparansi menjadi salah satu kunci dalam menyikapi ketidakpastian.
Dengan demikian, individu, organisasi, korporasi maupun pemerintah dapat menyikapi dengan baik situasi global yang semakin penuh dengan ketidakpastian.