Skip to content
Home » Artikel » Monorel Jakarta yang Tak Kunjung Tiba

Monorel Jakarta yang Tak Kunjung Tiba

Koridor utama Jalan HR Rasuna Said hingga Jalan Asia Afrika menjadi jalur utama pusat bisnis Jakarta yang dipenuhi ribuan kendaraan setiap hari.

Di tengah kemacetan yang tidak kunjung reda, tiang-tiang beton besar dan tua yang merupakan sisa dari proyek monorel Jakarta yang mangkrak sejak 2007 tetap berdiri diam. Tiang-tiang ini sekarang bukan hanya saksi bisu kegagalan masa lalu, tetapi juga merusak estetika kota.[1] 

Banyak yang bertanya,

Kenapa tidak dibongkar saja? Atau, jika tetap berdiri, kenapa tidak dilanjutkan proyeknya? 

Monorel Jakarta pertama kali dimulai pada tahun 2003, di bawah kepemimpinan Gubernur Sutiyoso. Dua jalur direncanakan: Green Line (14,3 km) dan Blue Line (14,8 km), dengan target 160.000 penumpang per hari. Biaya proyek diperkirakan mencapai Rp8–16 triliun.[2] 

Sempat berganti-ganti kepemilikan, pada tahun 2008 akhirnya proyek ini dinyatakan berhenti setelah investor utama mundur. Pada 2013, proyek dihidupkan kembali oleh PT Jakarta Monorail dan Ortus Group, tetapi kembali gagal karena tidak ada kejelasan sumber dana dan perizinan.[2]

Belakangan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah Gubernur Pramono Anung mulai mewacanakan penuntasan persoalan tiang mangkrak ini. Belum ada keputusan final, tetapi ini setidaknya menjadi sinyal bahwa pemerintah mulai sadar: beban sejarah infrastruktur tidak bisa terus dibiarkan seperti fosil di tengah kota.[3]

Sembari menunggu keputusan besar,

Akan lebih baik jika memulainya dengan solusi jangka pendek yang mungkin juga bisa menjadi alternatif jangka panjang. Misalnya, menjadikan tiang-tiang monorel yang terbengkalai sebagai media iklan vertikal. Selain menambah nilai estetika, pendekatan ini berpotensi menghasilkan pendapatan bagi daerah.

Kisah monorel Jakarta adalah pengingat bahwa perencanaan transportasi tidak boleh setengah-setengah. Tidak cukup hanya meletakkan tiang dan membuat presentasi megah. Dibutuhkan koordinasi antarlembaga, pendanaan yang jelas, serta transparansi pada publik.

Lebih penting lagi, proyek transportasi harus dirancang dengan visi jangka panjang yang tidak terhenti hanya karena pergantian kepala daerah. Infrastruktur bukan soal masa jabatan lima tahun, ia adalah warisan kota untuk puluhan tahun ke depan.

Jakarta tidak butuh lagi “tugu kenangan“, melainkan solusi. Entah dengan membongkar dan memanfaatkan lahannya, atau menghidupkannya kembali secara kreatif. Satu hal yang pasti, kita tidak boleh lagi membiarkan ruang publik didominasi oleh bangkai beton yang tak punya masa depan.