Isu kenaikan tarif PPN menjadi 12% sebenarnya sudah termuat dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021. yang disusun di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Namun, rencana ini baru akan direalisasikan oleh Pemerintahan Prabowo Subianto pada awal tahun 2025.[1]
UU tersebut didasari dari perbandingan tarif PPN Indonesia yang dianggap masih ada di bawah rata-rata tarif PPN negara-negara OECD, yakni 15%. Namun, jika berkaca pada tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia dengan PPN 12% akan menjadi negara dengan tarif PPN tertinggi bersamaan dengan Filipina.[2]
Peningkatan tarif PPN menjadi 12% dapat berdampak pada penurunan daya saing ekspor, konsumsi rumah tangga riil, PDB, dan penurunan upah riil.[3]
Kenaikan tarif PPN turut berdampak pada potensi kenaikan inflasi. Indeks biaya investasi pun meningkat sebesar 1,25% yang berpotensi menjadi hambatan bagi investor untuk menanamkan modal di Indonesia.
Untuk mengimbangi kenaikan PPN, Pemerintah berjanji akan menaikkan upah minimum nasional (UMN) sebesar 6,5%.
Namun, betulkah itu solusi yang tepat?
Dampak positif kenaikan UMN mungkin hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang. Namun, untuk mereka yang bekerja pada sektor informal, justru akan semakin tertekan: tidak ada yang menjamin pendapatannya akan meningkat, tetapi bahan pokok sudah pasti akan naik.
Bagi sektor industri, fenomena kenaikan UMN juga perlu dikhawatirkan menjadi domino effect terhadap peningkatan angka pengangguran akibat gelombang PHK besar-besaran.[4]
Industri kini didorong menjadi padat karya demi menjaring sebanyak-banyaknya tenaga kerja untuk mengurangi angka pengangguran. Ketika tidak diimbangi dengan produktivitas yang tinggi, bukan tidak mungkin jika perusahaan akan melakukan pemutusan kerja massal untuk memenuhi tuntutan batas upah minimal pekerja sementara keperluan belanja perusahaan juga meningkat.
Peningkatan tarif PPN menjadi 12% dinilai banyak ahli hanya akan mendatangkan lebih banyak dampak negatif, terlebih dampak negatif terhadap perekonomian nasional. Melihat kondisi daya beli masyarakat sekarang, dikhawatirkan akan semakin turun jika kebutuhan hidup semakin tinggi. Jika hal tersebut terjadi, target pertumbuhan ekonomi di atas 8% pun sulit untuk terwujud.[5]
Penambahan pendapatan negara tidak semata hanya bisa dilakukan dengan meningkatkan pajak kepada rakyat, tetapi bisa mulai mengkaji ulang efisiensi belanja pemerintah, seperti kendaraan operasional yang mewah serta perjalanan dinas yang tidak perlu.
Referensi
[1] Muhid, H. K., & Arjanto, D. (2024, December 1). Konsekuensi jika kenaikan PPN 12 persen ditunda. Tempo. https://www.tempo.co/ekonomi/konsekuensi-jika-kenaikan-ppn-12-persen-ditunda–1175564.
[2] Regar, R. F., & Nurhadi. (2024, November 22). Perbandingan Tarif PPN di Asia Tenggara, Indonesia Paling Tinggi? Tempo. https://www.tempo.co/ekonomi/perbandingan-tarif-ppn-di-asia-tenggara-indonesia-paling-tinggi–1171754.
[3] Ricardo, M., & Tambunan, M. R. (2024). Tantangan dan Strategi Penerapan Kebijakan Tarif PPN 12%. Journal of Economic, Business and Accounting (COSTING), 7(5), 2114-2128.
[4] KOMPASTV. (2024, December 1). Buka Suara soal UMP Naik 6,5 Persen, APINDO: Bisa Hambat Lapangan Kerja Baru [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=Ju__nGv-Ya8.
[5] CNBC Indonesia. (2024, November 18). PPN Naik di Januari 2025, Kelas Menengah Bakal Lebih Menderita [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=aosl3ML-Nf8.