Banyak orang mengeluh bahwa otonomi daerah lebih banyak menimbulkan masalah daripada memberi manfaat bagi rakyat pada umumnya. Ada yang mengatakan desentralisasi dan demokratisasi penyelenggaraan urusan publik di daerah dengan ongkos publik yang sangat besar justru dibajak segelintir elite lokal ataupun tangan-tangan elite nasional. Kalau itu kemudian menghasilkan peningkatan kesejahteraan rakyat lokal, tentu tidak terlalu menjadi soal. Namun banyak indikasi bahwa yang terjadi justru hadirnya dinasti-dinasti kecil atau oligarki lokal yang niat utamanya sekadar meraih kuasa.
Lebih parah lagi kalau niat utama dalam menjabat adalah untuk menimbun kekayaan. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi baru-baru ini menyebutkan ada 474 pejabat daerah yang kini sedang bermasalah hukum, dan sebagian besar terkait dengan pidana korupsi. Padahal, sebagaimana pernah dikatakan Kanselir Jerman Angela Merkel, siapa pun yang memutuskan terjun ke jabatan publik harus tahu bahwa mendapatkan uang bukanlah tujuannya.
Nafsu kuasa dan uang belumlah semuanya. Di sana-sini ada saja berita tentang pejabat daerah yang menggunakan pengaruh kekuasaan untuk hal yang walau bersifat pribadi tidak pantas dilakukan seorang pemimpin. Kasus Bupati Garut yang baru-baru ini menghebohkan dan memalukan satu contohnya. Ada pula pejabat yang boleh dikatakan abai kepada warganya karena jarang berada di tempat dalam kurun lama. Entah ke mana.
Namun apakah semua pejabat dan pemimpin daerah bermasalah? Tentu saja tidak. Otonomi daerah juga menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang inovatif, kreatif, progresif, prorakyat, dan penuh inisiatif, yang mungkin tidak akan muncul dalam sistem penyelenggaraan negara yang sentralistis. Kemajuan di berbagai aspek pembangunan dan kepemerintahan daerah serta pelayanan publik yang bisa kita rasakan di Surabaya, Sawahlunto, Banjar, Enrekang, Wonosobo, Kubu Raya, Keerom, dan berbagai daerah lain yang telah masuk kategori best-practices tidak lepas dari peran pimpinan daerah.
Tentu kita sadar bahwa setiap keberhasilan daerah, baik yang bersifat absolut maupun relatif, adalah merupakan capaian bersama berbagai pemangku kepentingan: kepala daerah, wakil rakyat, birokrasi, masyarakat sipil, ataupun masyarakat usaha. Tapi fokus kita kali ini adalah pada pemimpin daerah yang mendapat mandat atau amanat rakyat untuk membawa daerah menuju ke kemajuan dan warga daerah menuju ke kesejahteraan.
Lantas apa yang membedakan pemimpin yang berhasil membawa kemajuan daerahnya dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan pemimpin yang sekadar menikmati kekuasaan? Pengamatan terhadap berbagai best-practices di tingkat daerah sejak diterapkannya kebijakan desentralisasi kurang-lebih 12 tahun lalu dan pengenalan yang lebih dekat dengan segelintir pemimpin daerah yang keberhasilannya sudah diakui banyak pihak mengajarkan setidaknya satu hal: mereka berhasil karena bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanat atau kepercayaan rakyat.
Pemimpin daerah yang amanah tidak akan menjanjikan hal yang tidak bisa dipenuhi dalam kurun yang terbatas. Mereka akan berusaha sebaik-baiknya memberikan yang terbaik kepada daerah dan warganya. Ia tahu apa yang harus dicapai di pengujung jabatan nanti dan apa yang akan dijadikan “tinggalan” (legacy) berkelanjutan, kaya-manfaat, serta menyejahterakan warganya. Tinggalan tidak harus berwujud fisik, tapi bisa juga berupa iklim kerja yang bersih dan melayani serta budaya untuk berkarya menghasilkan sesuatu yang bermakna bukan sekadar bekerja rutin-mekanistik.
Pemimpin daerah yang amanah umumnya mempunyai target-target “ambisius”. Namun target-target itu bukan untuk kepentingan diri pribadi atau kelompoknya, melainkan buat kebaikan daerah dan masyarakatnya. Keputusan sulit mungkin harus diambil, terobosan harus dilakukan, dan tentangan harus dihadapi. Tapi, karena ia sungguh-sungguh melakukannya demi kemaslahatan umum, aral pun dapat dilalui. Tentu ia harus mampu berkomunikasi dengan baik dan efektif dengan pihak yang turut menentukan keterwujudan target-target tersebut, termasuk pihak yang “berseberangan” dalam pendapat.
Karena amanat rakyat umumnya tidak jauh dari keinginan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik, secara ekonomi, sosial, dan budaya serta terlindunginya rasa keadilan dan keamanan, pemimpin daerah yang amanah umumnya tahu prioritas yang pantas dan tepat. Ia lebih bersungguh-sungguh memperhatikan pemenuhan hak rakyat di bidang pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan, perbaikan sarana dan prasarana umum, serta pelestarian lingkungan yang bermanfaat luas daripada hal yang memberi kesan “wah” kepada diri dan jabatannya. Menggunakan uang publik untuk membangun kantor pemerintah daerah yang megah bukanlah prioritasnya jika warga di kiri-kanannya masih harus bergelut dengan kemiskinan dan keterbatasan.
Pemimpin daerah yang amanah belum tentu mengetahui jawaban dari setiap persoalan. Tapi ia tahu bahwa persoalan tersebut harus sesegera mungkin dijawab, tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Ia akan bersungguh-sungguh mencari tahu dengan siapa sang pemimpin harus berkonsultasi, apakah dengan mereka yang memang memiliki otoritas keilmuan yang relevan dengan permasalahannya atau dengan pihak lain. Ia juga akan berusaha dekat dengan rakyatnya, bukan karena ingin jadi “Sinterklas” yang membagi-bagikan uang atau hadiah, tapi untuk mendengar dari dekat suara warganya sehingga keputusan yang diambil tepat guna dan tepat sasaran. Namun, pada akhirnya, sang pemimpinlah yang harus mengambil keputusan, karena dialah yang diberi amanat oleh rakyat.
Pemimpin daerah yang amanah tahu bahwa banyak permainan kotor dalam politik, dan akan bersungguh-sungguh menyikapinya dengan tepat tanpa harus mengorbankan integritas diri dan jabatannya atau membiarkan dirinya terjebak dalam berbagai “permainan” politik-ekonomi yang tidak sesuai dengan hakikat keberadaan sebuah pemerintah daerah. Pemerintah daerah ada terutama karena rakyat butuh pelayanan publik. Pemerintah daerah ada juga karena kepentingan publik (termasuk menjaga kualitas lingkungan) ataupun hak individual (termasuk kaum minoritas) perlu mendapat perlindungan. Jika dua hal ini tidak bisa dijalankan, kita pantas mempertanyakan perlunya pemerintah daerah tersebut. Pemimpin daerah yang amanah tahu akan hal itu, atau setidaknya bersungguh-sungguh mencari tahu hal itu.
Terakhir, pemimpin daerah yang amanah sepenuh sadar bahwa ia panutan atau teladan bagi warganya, khususnya dalam masyarakat yang masih paternalistik. Ia sadar, jika ia bertindak sewenang-wenang, banyak warganya akan ikut “suka-suka” menurut cara mereka sendiri. Akhirnya, yang akan menjadi korban adalah “ruang publik”, baik secara harfiah maupun kiasan. Pada masyarakat yang sudah lebih “dewasa”, rakyat bisa saja menarik mandatnya di tengah jalan jika pemimpin terpilih bertindak sewenang-wenang. Pemimpin yang amanah tentu tahu akan hal itu dan karenanya akan bersungguh-sungguh menjaga integritasnya.
Sepintas, membaca karakter pemimpin yang amanah di atas membuat kita seolah-olah sedang bermimpi. Adakah pemimpin seperti itu, baik di tingkat daerah maupun nasional? Mungkin tidak mudah bagi kita menemukan pemimpin dengan karakter yang lengkap seperti uraian di atas. Tapi kalau kita melihat secara lebih cermat para pemimpin daerah (dan nasional) yang berhasil, yang keberhasilannya sudah diakui banyak pihak, mereka umumnya memiliki sebagian atau banyak bagian dari berbagai karakter pemimpin yang amanah tersebut.
Bak mutiara-mutiara yang belum sepenuhnya tergosok, jika terdapat kesempatan untuk terus berkembang dan jika pemimpin-pemimpin tersebut mampu mengendalikan diri untuk tidak terperosok menjadi arogan karena pujian yang mengalir terus, tidak menjadi tuli karena sudah merasa benar sendiri, serta tidak menjadi detached karena dikelilingi orang-orang yang hanya mau memuji di depan tapi menggerogoti integritasnya dari belakang, besar kemungkinan desentralisasi dapat menghasilkan tata kepemerintahan yang bersih dan melayani.
Ternyata kuncinya “sederhana”: bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanat, bersungguh-sungguh memberikan yang terbaik bagi daerah dan rakyatnya, serta sepenuhnya sadar bahwa jabatan publik bukanlah untuk mencari uang.