Nampak dari luar, kedua hal ini bisa saja terlihat sama. Namun, mereka adalah dua hal yang sangat berbeda.
Revitalisasi merupakan sebuah perbaikan kembali wilayah untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat. Fokus utamanya adalah keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang sosial dengan kesejahteraan masyarakat lokal.[1]
Sedangkan gentrifikasi adalah masuknya orang-orang kelas atas di dalam suatu wilayah dengan masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak pernah tersentuh investor sebelumnya, lalu mereka membangun rumah atau bisnis sehingga harga properti naik dan mulai menggerus bangunan lama serta menyingkirkan orang-orang lokal ke wilayah tepian.[2]
Aspek | Revitalisasi | Gentrifikasi |
Definisi | Perubahan lingkungan yang bertujuan meningkatkan kondisi fisik dan sosial kawasan tanpa menggusur penduduk asli. | Perubahan lingkungan yang menyebabkan pergeseran sosial-ekonomi dengan masuknya kelompok berpenghasilan lebih tinggi, seringkali menggusur penduduk asli. |
Pendekatan | Bottom-up (dari masyarakat atau komunitas). | Top-down (didorong oleh investor/pemerintah). |
Dampak sosial | Masyarakat asli tetap dapat tinggal di kawasan hasil revitalisasi. | Penduduk asli terpaksa pindah karena kenaikan biaya hidup dan properti. |
Tujuan | Meningkatkan kualitas lingkungan hidup secara inklusif. | Meningkatkan nilai properti dan daya tarik kawasan bagi kelas ekonomi atas. |
Aksesibilitas | Tetap terjangkau oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). | Menjadi sulit dijangkau oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). |
Contoh hasil | Perbaikan infrastruktur, fasilitas umum, dan sosial yang inklusif. | Munculnya bisnis mewah, apartemen mahal, dan eksklusi sosial. |
Fenomena gentrifikasi ini sebenarnya sudah banyak terjadi di Indonesia. Contoh paling menonjol dapat dilihat pada kota-kota wisata, seperti Bali. Pada kasus yang disebut tourism gentrification itu, perubahan guna lahan terjadi sangat cepat akibat tarikan akomodasi wisata di sekelilingnya.[3]
Perubahan Penggunaan Lahan Pesisir Pantai Bali Bagian Tenggara Tahun 1995-2021 (Sumber: Karang dkk., 2022)
Betul bahwa banyaknya wisatawan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, lonjakan yang begitu cepatnya telah menciptakan tekanan yang signifikan pada tata ruang Bali—naiknya harga properti, kemacetan, eksploitasi sumber daya alam, memburuknya kualitas ruang dan layanan publik.[4]
Berkaca pada pengalaman Bali, investasi pada sektor pariwisata yang tidak berkelanjutan telah bertransformasi menjadi proses gentrifikasi yang berdampak pada pergeseran wajah sosial budaya masyarakat lokal dan fisik kota.
Pemerintah harus tegas berpihak kepada masyarakat lokal dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota. Jangan sampai investasi yang harusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru malah memarjinalkan mereka.
Referensi
[1] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (n.d.). Revitalisasi Cagar Budaya. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/revitalisasi-cagar-budaya/
[2] Sutton, S. (2015, January 15). What we don’t understand about gentrification. TEDxNewYork [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=XqogaDX48nI
[3] Amrozi, I., Sultansyah, D. R. P., Hidayat, A. M. N. A., & Savirani, A. (2021). Kelompok milenial dan tantangan pembangunan kota: Gentrifikasi dan komersialisasi ruang di kota Yogyakarta. Jurnal Studi Pemuda, 10(2), 115-130.
[4] Setiawan, S. (2023, May 31). Menggali Permasalahan Gentrifikasi dan Overtourism di Bali. Wise Steps Consulting. https://wisestepsconsulting.id/blog/menggali-permasalahan-gentrifikasi-dan-overtourism-di-bali