Oleh: Wicaksono Sarosa
Bagi pemilik gedung, pagar setidaknya punya tiga fungsi: batas kepemilikan, keamanan dan “wajah” pada skala pejalan kaki. Fungsi ketiga ini bisa sekaligus memberikan sumbangan bagi keindahan kota dan kenikmatan pejalan kaki.
Sayang sekali, fungsi ketiga tersebut seringkali dilupakan oleh pemilik/pengelola gedung, seperti yang terlihat di tiga gambar atas Slide 1. Properti ini sama sekali tidak menghargai kota dan pejalan kaki di depannya. Trotoar, yang kebetulan juga tidak ada pohon perindangnya, jadi terasa panas. Dua gambar bawah di Slide 1 menunjukkan sedikit perbaikan dengan ada elemen sepeda atau informasi umum (tentang pajak).
Slides 2, 3 dan 4 menunjukkan upaya pemilik properti untuk menyumbangkan keindahan kota sekaligus “amenities” yang lebih enak dinikmati pejalan kaki dengan kehijauan taman yang indah. Sayang di Slide 4 ada “ramp” mobil yang menjorok ke trotoar.
Saya suka dengan yang terlihat di Slides 5 dan 6. Di Slide 5, Gedung Sequis (d/h Widjojo Center) membuat pagar yang sangat rendah sekaligus membuat ruang terbuka dengan bangku2. Di Slide 6, sebagian pagar dari Menara Mandiri dibuat dalam wujud tangga2 yang di saat sebelum pandemi menjadi tempat orang bisa duduk2 sambil menikmati musik jalanan.
Slide 7 dan 8 bukan sepenuhnya tentang pagar. Trotoar berkanopi di Slide 7 merupakan elemen kota yang menarik sekaligus sangat fungsional. Slide 8 menunjukkan ruang terbuka yang sebenarnya berpotensi menarik tapi kok ditutup pagar. Mungkin karena pandemi?
Di kota-kota negara maju atau kota-kota yang relatif aman, bahkan seringkali pagar tidak ada. Dengan menerapkan aturan GSB = 0 (nol), maka gedung membentuk apa yang disebut “streetwall” dan menciptakan suasana “enclosed” yang lebih nyaman bagi pejalan kaki. Sayang saya tidak menemui hal seperti ini pada kesempatan kali ini.