Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stanford University pada tahun 2017, penduduk Indonesia merupakan penduduk ter-’malas’ dalam berjalan kaki. Rata-rata penduduk Indonesia berjalan kaki 3.513 langkah per hari, di bawah rata-rata global sebesar 5.000 langkah per hari. Studi tersebut sudah lima tahun yang lalu, dan belum ditemukan studi sejenis yang terbaru. Di sisi lain, sejak tahun 2017, Jakarta telah merencanakan pembangunan jalur pedestrian sepanjang 2.600 km. Namun, sejak 2017 hingga 2020, baru 15% jalur pedestrian yang terbangun atau 390 km. Dengan dibangunnya jalur pedestrian yang layak: lebar yang memadai, perkerasan yang aman dan dilengkapi ubin pemandu, apakah hal ini akan menyelesaikan permasalahan pejalan kaki di perkotaan Indonesia?
Dalam konteks bagaimana meningkatkan kenyamanan berjalan kaki, sekaligus meningkatkan minat berjalan kaki masyarakat Indonesia, perlu dipahami bahwa ini adalah sebuah isu yang makro, lebih dari sekadar memperbaiki trotoar. Barton (2003) menyatakan bahwa jarak berjalan kaki dari asal ke tujuan yang ideal adalah 400 meter, dan 800 meter untuk ke pusat kegiatan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Olson (2010) yang menyatakan bahwa jarak berjalan kaki 400 meter adalah sebuah benchmark dalam jarak berjalan kaki di perkotaan. Pada intinya, jarak berjalan kaki harus dibuat sependek mungkin: jarak tidak lebih dari 1.000 meter dan durasi tidak lebih dari 5-10 menit. Namun, faktanya, seringkali pejalan kaki harus mengalah dengan harus memutar dan rute yang lebih jauh, seperti yang terdapat di Stasiun Cikini, Jakarta. Pejalan kaki yang ingin menuju Stasiun Cikini harus memutar lebih jauh untuk masuk ke dalam stasiun karena terdapat pagar 2 lapis: pagar pertama memagari bangunan stasiun dan pagar kedua memagari jalur pedestrian. Dengan akses yang sulit, hal ini tentu sangat tidak nyaman, bahkan bagi masyarakat yang tidak berkebutuhan khusus.
Setelah aspek soal jarak berjalan kaki, coba kita bandingkan suasana berjalan kaki berikut
Jalur pedestrian dapat dikatakan berhasil ketika tidak hanya untuk memberikan jalan bagi pejalan kaki dari satu titik ke titik lainnya, tapi juga menjadi sebuah urban space (Loukaitou-Sideris & Ehrenfeucht, 2010). Maka dari itu, penting untuk menciptakan jalur pedestrian sebagai sebuah urban space – tempat masyarakat berinteraksi dan beraktivitas – dengan menciptakan jalur pedestrian yang lebih hidup. Pada dasarnya, pejalan kaki lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan perkotaan karena bergerak dengan lebih lambat dan tidak ‘terbungkus’. Maka, lingkungan perkotaan, juga perlu untuk dibuat nyaman dan memiliki suasana yang menyenangkan bagi pejalan kaki.
Kondisi jalur pedestrian bisa saja ideal – lebar, dilengkapi ubin pemandu dan perkerasan yang baik. Namun, yang sering kali terjadi adalah bangunan di sekitarnya menutup bangunannya dengan pagar dan memberi akses yang terbatas bagi pejalan kaki – menciptakan fasad bangunan yang tidak aktif dan tidak ada interaksi dengan pejalan kaki. Akhirnya, jalur pedestrian berfungsi hanya sebagai jalur untuk dari satu titik ke titik lainnya.
Beberapa Rekomendasi bagi Pengembang
Di Jakarta, beberapa bulan yang lalu, telah diresmikan wajah baru dari pusat perbelanjaan yang legendaris, yaitu Sarinah. Mengusung tema community mall, Sarinah berani membongkar pagar bangunannya sekaligus menjadi ruang publik.
Keberadaan Sarinah di Jalan Thamrin membuat suasana di tengah kawasan perkantoran tersebut menjadi lebih vibrant, terlepas dari trotoar yang masih belum diperbaiki di depannya. Selain itu, kawasan-kawasan perdagangan dan jasa dapat menghilangkan pagar bangunannya dan mengaplikasikan garis sempadan muka bangunan nol. Sehingga, bangunan akan menempel dengan jalur pedestrian dan menciptakan suasana yang nyaman sekaligus aman bagi pejalan kaki. Contohnya adalah yang ada di Kawasan Cikini, Jakarta (walaupun agak kontradiktif dengan akses menuju stasiunnya) dan Jalan Braga, Bandung.
Pejalan kaki dapat menikmati suasana berjalan kaki yang menyenangkan – baik di Cikini maupun di Braga – sambil melihat-lihat kawasan pertokoannya atau sambil duduk-duduk di bangku yang ada. Jalur pedestrian memainkan perannya sebagai urban space, sekaligus membuat pejalan kaki nyaman dan memilih untuk berjalan kaki, alih-alih menggunakan kendaraan (kecuali hanya sekadar lewat).
Jika kota kita didesain untuk memprioritaskan pejalan kaki – baik dari pola jaringan jalan, tata bangunan dan infrastruktur pejalan kakinya – berjalan kaki menjadi kegiatan yang menarik dan menyenangkan di dalam perkotaan dan dalam bermobilitas. Menjadi sebuah kota yang direncanakan yang berorientasi pada manusia.
Referensi
Smith, N. (2019). A pedestrian-friendly approach could transform key urban areas into vibrant social and retail hubs. https://www.scmp.com/business/article/2186687/pedestrian-friendly-approach-could-transform-key-urban-areas-vibrant-social
The Jakarta Post. (2017). Stanford Study Reveals Indonesians Laziest Walker in the World.
Loukaitou-Sideris, A & Ehrenfeucht, R. (2010). Vibrant Sidewalks in the United States: Re-Integrating Walking and a Quintessential Social Realm