Skip to content
Home » Artikel » Cable Car: Benar-benar Diperlukan atau Hanya Akal-akalan?

Cable Car: Benar-benar Diperlukan atau Hanya Akal-akalan?

Beberapa waktu lalu, publik sempat dibuat heboh dengan wacana yang disampaikan oleh Menparekraf, Bapak Sandiaga Uno, terkait dengan pembangunan kereta gantung, atau gondola, atau cable car sebagai solusi untuk mengatasi persoalan kemacetan abadi di kawasan Puncak, Bogor yang terjadi di hampir setiap akhir pekan atau musim libur. Beliau mengatakan bahwa diskusi terkait pembangunan moda transportasi sebagai upaya mengurai kemacetan tersebut telah dilakukan pada 2020 lalu antara Bappedalitbang Kabupaten Bogor bersama dengan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) dan Dinas Perhubungan. Hasilnya, terdapat usulan bahwa pembangunan kereta gantung akan dilakukan sepanjang 18 KM dimulai dari Gadog hingga Puncak Pass dengan stasiun yang terhubung dengan beberapa kawasan wisata di Puncak. Dalam diskusi yang pernah dilakukan tersebut diestimasikan juga bahwa pembangunannya akan membutuhkan investasi dana sebesar Rp 765 miliar. Memang dana yang besar tersebut tentu tidak berasal dari Pemerintah seluruhnya, melainkan terdapat campur tangan pihak swasta. Namun apakah cable car memang dapat mengatasi solusi kemacetan abadi di Puncak?

Jalur ‘kemacetan abadi’ di Puncak, Bogor (https://www.inews.id/news/megapolitan/jalur-puncak-bogor-macet-parah-polisi-berlakukan-oneway-dari-arah-jakarta)

Di awal kemunculannya, kereta gantung digunakan sebagai sarana berpindah tempat pada kawasan-kawasan dengan tipografi yang sulit seperti kawasan perbukitan atau pegunungan dengan tebing curam dan sungai. Kereta gantung atau cable car juga dimanfaatkan untuk dapat menghubungkan komunitas dengan kendala geografis tertentu saat moda kendaraan lain tidak mungkin digunakan pada suatu pusat kegiatan. Pada beberapa kasus tertentu, pembangunan moda transportasi ini seringkali dinilai memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan moda transportasi lain seperti kereta di jalur darat karena harus mempertimbangkan pembangunan rel, jembatan ataupun terowongan sehingga biaya investasi yang dikeluarkan menjadi lebih rendah serta waktu pembangunan yang lebih cepat. Selain itu kelebihan lain yang dimiliki ialah tidak adanya polusi suara serta polusi udara yang dikeluarkan secara langsung dari penggunaan moda transportasi ini. Hasil studi Bank Dunia pada tahun 2017 menyatakan bahwa rata-rata panjang perjalanan yang dapat ditempuh oleh moda transportasi cable car saat ini adalah 2,7 KM dengan kecepatan 10-20 KM/jam dan dapat membawa hingga 2.000 penumpang per jam pada setiap arahnya. Lama kelamaan karena beberapa karakteristik tersebut berpadu dengan lokasi pengoperasian kereta gantung yang kebanyakan berada di wilayah pegunungan, maka moda transportasi ini juga dijadikan atraksi wisata bagi pengunjung yang datang ke suatu kawasan yang memiliki cable car.

Lebih dari dua dekade yang lalu, kota Medellin di Kolombia begitu identik dengan kekerasan yang hampir seluruhnya dipicu oleh narkoba hingga pernah dijuluki ‘Kota Paling Berbahaya di Dunia’ oleh majalah Time karena memberikan tantangan yang berat bagi penduduknya untuk mempertahankan keselamatan, keamanan bahkan peluang hidup mereka. Pembangunan kota ini yang banyak dilakukan di sepanjang lembah curam dengan kawasan permukiman masyarakat miskin yang diatur untuk ditempatkan jauh dari pusat kegiatan, menyebabkan banyak penduduk dikeluarkan dari pekerjaan mereka karena membutuhkan waktu dan usaha yang tidak sedikit saat melakukan perjalanan ke tempat kerja. Namun sejak tahun 2004, kota kedua terbesar di Kolombia ini telah berhasil menjelma menjadi kota dengan berbagai julukan positif seperti ‘model kota layak yang berkelanjutan’ hingga ‘kota paling inovatif’. Medellin menjadi kota pertama di dunia yang sepenuhnya mengintegrasikan kereta gantung ke dalam sistem transportasi yang ada. Pemerintahnya berinvestasi untuk menghubungkan berbagai lingkungan yang ada melalui sistem MetroCable yang inovatif, yang telah diakui secara luas membantu mengurangi tingkat kejahatan kota serta meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Sejak saat itu, semakin banyak daerah perkotaan di seluruh dunia yang mulai memasang sistem kereta gantung mereka sendiri, menawarkan metode yang bersih, lebih murah serta inovatif sebagai sarana untuk mengatasi tantangan transportasi perkotaan. Tidak seluruhnya berhasil tentu saja. Di Rio, Brazil, hal serupa tidak terjadi. Padahal tujuan semula sistem tersebut sangat baik yakni untuk memfasilitasi masyarakat yang tinggal di lereng bukit agar mendapat kemudahan pelayanan terhadap fasilitas kota. Namun pada akhirnya, pembangunan tersebut menuai kritik karena dinilai tidak mempertimbangkan kebutuhan sebagian besar masyarakat yang masih memerlukan sistem pelayanan publik dasar seperti sanitasi yang lebih baik.

Darisanalah kemudian muncul beberapa pertimbangan untuk tidak lagi menjadikan pembangunan cable car sebagai solusi dalam menyediakan akses bagi masyarakat pada kondisi tertentu untuk mendapatkan pelayanan di pusat kota. Beberapa hasil studi kemudian mengeluarkan sanggahan terhadap dampak positif pembangunan kereta gantung. Misalnya terkait dengan kondisi topografi yang dinilai menjadi cikal bakal munculnya moda transportasi ini. Menilik pada kasus Rio, pada medan tertentu dalam suatu kondisi, memang biaya yang dibutuhkan dalam pembangunan cable car lebih rendah dibandingkan dengan membangun terowongan atau jembatan untuk digunakan kereta konvensional (jalur darat). Namun tentu modal investasi di sini menjadi pertimbangan yang relatif bergantung pada konteks dari suatu negara, sehingga persoalan pembiayaan perlu melihat kondisi keuangan dari masing-masing pemerintahan secara langsung dan tidak dapat disamaratakan. Masih dalam konteks pembiayaan, dalam pembangunannya tentu membutuhkan pemahaman yang terperinci terkait pembiayaan dan dampak jangka panjang yang ditimbulkan. Biasanya selama keberjalanan pengoperasian kereta gantung ke depan akan membutuhkan banyak subsidi publik sehingga dibutuhkan data biaya operasi dan pemeliharaan yang transparan. Hal ini perlu menjadi perhatian agar tidak menimbulkan beragam persepsi publik. Pertimbangan lain adalah terkait dengan kapasitas dan aksesibilitas yang sangat bergantung pada lokasi dan desain stasiun dimana berdasarkan data yang tersedia, jenis moda transportasi kereta gantung lebih cocok digunakan untuk area dengan permintaan perjalanan sedang. Padahal jika dapat dikonversikan dari volume kendaraan saja, pada musim-musim tertentu seperti saat libur sekolah, libur lebaran, atau libur akhir tahun, kendaraan yang masuk ke Kawasan Puncak bisa mencapai lebih dari 21.000 kendaraan. Sayangnya belum ada kajian mengenai jumlah permintaan penumpang di Kawasan Puncak untuk mengetahui efektivitas penggunaan cable car. Selain itu moda transportasi ini juga tentunya tidak akan mampu melayani penumpang sebanyak bus, serta mengharuskan penumpang berjalan lebih jauh ke terminal mengingat rata-rata jarak antar stasiun hanya 800-meter saja.

Sebagai kesimpulan, pengembangan kereta gantung sebagai solusi dari kemacetan abadi di Kawasan Puncak bisa dijadikan pertimbangan namun tentunya dengan berbagai catatan. Pembangunannya tentu harus mempertimbangkan kondisi masing-masing wilayah, tidak bisa disamaratakan hanya karena sebelumnya telah berhasil dilakukan di wilayah lain. Meskipun banyak preseden yang telah berhasil mengembangkan cable car hingga dinilai menjadi solusi yang layak untuk menjawab tantangan transportasi perkotaan karena pembangunannya yang lebih murah dan cepat dibandingkan dengan kereta konvensional, namun desain sistem transportasi, integrasi jaringan, sistem pengoperasian dan pemeliharaan, transfer teknologi yang digunakan serta keberlanjutan jangka panjang dari moda transportasi ini perlu diperhatikan. Belum lagi aspek lainnya seperti kepuasan pengguna, dimana Pemerintah diharapkan agar tidak hanya menjadikan kereta gantung sebagai atraksi wisata, melainkan juga perlu mempertimbangkan aspek keamanan, kenyamanan serta keselamatan penumpangnya. Untuk itu, Pemerintah bersama stakeholder yang terlibat tentunya perlu melakukan perencanaan yang menyeluruh dan komprehensif dalam hal kajian analisis alternatif, biaya, serta manfaat yang akan diberikan dari pengoperasian kereta gantung ini.

Marsa Aulianisa
Marsa Aulianisa

Setelah menyelesaikan pendidikan di program studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB pada tahun 2019, kemudian bekerja sebagai staf pendukung di Bappenas dengan fokus pekerjaan pada isu spasial ketenagakerjaan. Saat ini aktif sebagai Knowledge Worker di RuangWaktu.

Sumber:

Izzah, H.N. Cable Car Sebagai Solusi Mengurangi Kemacetan di Puncak, Jawa Barat. Atourin. Diakses pada Juli 4, 2022. https://blog.atourin.com/news/cable-car-sebagai-solusi-mengurangi-kemacetan-di-puncak-jawa-barat/

BBC. The rise of the urban cable car. BBC. Diakses pada Juli 4, 2022. https://www.bbc.com/future/article/20190103-the-rise-of-the-urban-cable-car

Rubiano, L.C., Jia, W.,& Darido, G. Innovation in the air: using cable cars for urban transport. World Bank Blogs. Diakses pada Juli 4, 2022. https://blogs.worldbank.org/transport/innovation-air-using-cable-cars-urban-transport

Leave a Reply