Lebaran 2022 telah usai. Warga kembali berbondong-bondong kembali dari kampung halamannya menuju kota tempat mereka tinggal dan bekerja. Setelah 2 tahun pemerintah melarang untuk mudik akibat pandemi COVID-19, akhirnya lebaran tahun ini banyak warga yang bisa melepas kerinduannya dengan keluarga yang jauh di sana.
Tradisi mudik memang sangat identik dengan perayaan hari raya Idul Fitri. Entah sejak kapan warga kita memulai kebiasaan mudik menjelang lebaran. Di tahun 2022 saja, PT. Jasa Marga selaku pengelola jalan tol mencatat bahwa terdapat 1,7 juta kendaraan yang meninggalkan Jabodetabek untuk mudik. Kementerian Perhubungan juga menyatakan bahwa secara total terdapat 5,18 juta penumpang mudik untuk lebaran tahun ini.2 Angka ini lebih kecil sebesar 7% jika dibandingkan dengan total penumpang di periode yang sama untuk lebaran di tahun 2019. Namun tetap saja, mengatur pergerakan lebih dari 5 juta orang bukan lah perkara yang mudah.
Romantisme mudik ke kampung halaman ini menyiratkan persoalan pembangunan yang nyata di depan mata, yaitu ketimpangan. Mobilitas warga kota-kota besar ke desa-desa atau kota kecil menunjukkan bahwa kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, masih menjadi pilihan bagi warga untuk meningkatkan taraf hidupnya, sehingga memaksa mereka untuk berpindah tempat tinggal. Kota-kota kecil yang mereka tinggali tidak memberikan berbagai peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya serta tidak memiliki fasilitas publik yang memadai. Pilihannya menjadi satu, yaitu pindah dan mencari pekerjaan di kota-kota besar.
Tentu saja migrasi warga atau proses urbanisasi tersebut tidak bisa dicegah atau dilarang. Namun, jika ketergantungan akan kota besar ini semakin tinggi, maka lambat laun desa-desa akan ditinggal penduduk usia muda dan menyisakan penduduk lanjut usia (ageing population). Akibatnya, kesenjangan antara kota dan desa semakin tinggi, karena desa tidak lagi produktif secara ekonomi.
Salah satu penyebab timpangnya distribusi pendapatan dan kegiatan ekonomi –yang mendorong terjadinya mudik—adalah lemahnya keterkaitan antara desa-kota (Fauzi (2010) dalam Yandri (2015)).3 Hubungan desa dan kota tidak lagi saling menguntungkan, bahkan cenderung eksploitatif. Sumber daya di perdesaan, termasuk manusianya, banyak yang tersedot ke kota. Timbal balik yang diberikan warga kota, misalnya melalui remitansi, juga belum mampu mengangkat ekonomi dan kesejahteraan warga desa secara layak.
Tentu mudik merupakan suatu bentuk fenomena tahunan yang kerap dinantikan masyarakat kita. Boleh jadi, jika kota-kota kita tidak [begitu] timpang, angka pemudik akan berkurang, karena masyarakat tidak perlu jauh-jauh lagi untuk mendapatkan berbagai fasilitas publik yang memadai dan lengkap. Namun demikian, apalah arti lebaran tanpa adanya mudik, karena sejatinya momen ini lebih dari sekedar pulang kampung.
3https://mediaindonesia.com/opini/5550/mudik-migrasi-dan-ketimpangan-wilayah