Di Bandung, mungkin sebagian besar orang akan lekas mengenali apabila ada orang yang menyebut nama Jalan Cibadak. Jalan yang secara ukuran tidak begitu lebar ini menjadi rumah bagi puluhan pedagang makanan, baik yang bertempat di dalam gedung pertokoan yang ada maupun para pedagang gerobak dan tenda dan menyajikan berbagai jenis makanan. Jika dilihat dalam konteks yang sama, lokasi di Jakarta yang cukup serupa ialah Blok S dan berbagai pedagang yang ada dalam pujaseranya. Atau Tiong Bahru di Singapura, Gurney di Penang, dan Dotonbori di Osaka. Semua tempat ini merupakan salah satu tengara populer yang ada di masing-masing kota tersebut dengan karakteristik yang serupa: keberadaan pedagang makanan jalanan atau street food, yang biasa kita kenali dengan sebutan pedagang kaki lima.
Tidak dapat dipungkiri, budaya makanan jalanan di Asia telah menjadi suatu identitas yang sangat kuat melekat. Tidak ada kota besar yang terlepas dari keberadaan pedagang kaki lima, dan banyak yang telah berkembang menjadi suatu daya tarik bahkan lokasi dengan sejarah yang panjang bagi kota-kota tersebut. Namun asal-usul dari makan jalanan ini sendiri cukup beragam. Ada argumen yang menyatakan bahwa di masa Yunani kuno lah pertama kalinya budaya ini berkembang, namun sebagian menyatakan bahwa budaya ini sendiri berkembang luas pertama kali di Asia pada masa Tiongkok lama dan kemudian menyebar ke Jepang dan Korea sebelum akhirnya ke seluruh daerah tempat bangsa Tiongkok lama banyak berdagang. Istilah pedagang kaki lima sendiri berasal dari kesalahan penerjemahan dari aturan buatan Sir Thomas Raffles yang menyatakan kalau lebar trotoar di jalanan Jakarta (Batavia pada saat itu) selebar 5 foot yang harusnya diterjemahkan menjadi lima kaki. Namun seiring dengan waktu pada akhir abad ke-18, trotoar ini menjadi lokasi favorit bagi para pedagang untuk menjajakan dagangannya (dan menjadi pedagang kaki lima).
Kecenderungan penolakan dari para pihak berwenang kepada pedagang kaki lima ini juga bukan hal yang baru. Sejak jaman penjajahan Belanda rasa ketidaksukaan terhadap PKL telah muncul dari para penduduk Belanda di Batavia, yang merasa kehadiran mereka mengganggu keindahan dan kenyamanan kota. Namun pada saat itu para Bumiputera (pribumi) yang ada di dewan kota atau Gemente Raad membela dengan argumen bahwa pada saat itu masyarakat baru mampu berdagang dengan bentuk seperti itu. Hingga saat ini juga argumen yang menentang keberadaan PKL ini menjadi semakin marak, dengan beberapa kota besar kerap melakukan penertiban hingga pemindahan bagi para pedagang. Hal ini merupakan hal yang cukup ironis, karena para pedagang ini merupakan bagian dari budaya perkotaan yang juga berperan membentuk citra dan identitas dari kota dan memberikan suatu ciri khas yang membedakan satu sama lain.
Perlu dipahami baik oleh para pemangku kepentingan maupun penduduk kota bahwa keberadaan pedagang kaki lima di kota-kota telah menjadi bagian penting yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Pada konteks urbanisasi, keberadaan PKL memiliki peran penting dalam proses inklusi sosial dan pelibatan kelompok-kelompok rentan di kota-kota besar, serta dalam upaya menghapus malnutrisi dan sebagai penyedia sumber pangan bagi penduduk perkotaan (Winarno, 2017). Makanan jalanan pada sebagian besar negara telah menjadi bagian penting dalam konsumsi makanan di kawasan perkotaan bagi jutaan konsumen kelas menengah dan bawah setiap harinya (Privitera & Nesci, 2015). Pedagang kaki lima juga berperan besar dalam menyumbang perekonomian suatu kota (Mahon et al., 1999), terutama pada konteks kota-kota Indonesia dimana sektor informal menjadi salah satu penyumbang terbesar sektor perekonomian. Makanan jalanan ini juga telah menjadi suatu bentuk warisan budaya dengan penggunaan berbagai bahan tradisional, proses pengolahan yang khusus, dan juga penggunaan alat-alat buatan tangan serta kualitas craftsmanship yang unik dan khas sehingga diterima sebagai suatu identitas yang dikaitkan dengan masing-masing daerah atau wilayah (Sims, 2009).
Memandang kota kita masing-masing, tentunya setiap kota memiliki identitas dan budaya yang sedikit banyak diwakilkan oleh keberadaan para pedagang kaki lima yang menjajakan makanan khas lokal yang ada. Keberadaan mereka telah begitu mengakar, sehingga rasanya sulit untuk membayangkan kota kita tanpa adanya PKL yang begitu dicintai oleh penduduk dan wisatawan. Dengan sedikit upaya lebih untuk mau merangkul dan memberdayakan, di masa depan nanti mungkin dapat terwujud kota yang maju dan terus berinovasi, namun tetap menghormati akar budayanya dan memiliki identitas yang khas. Tentunya semua ini bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan kesempatan bagi seluruh penduduknya, dan untuk seutuhnya memastikan bahwa kota-kota ini milik semua yang ingin mewujudkan harapan dan impiannya.
Sumber:
Hendaru.t. (2013, March 28). Mula pedagang Kaki Lima. Historia. Retrieved June 20, 2022, from https://historia.id/urban/articles/mula-pedagang-kaki-lima-D8mZv/page/1
Mahon, B. E., Sobel, J., Townes, J. M., Mendoza, C. GudielLemus, M., & Tauxe, R. V. 1999.
Surveying Vendors of Street-Vended Food: A New Methodology Applied in Two
Guatemalan Cities. Epidemiology and Infection, 122: 409-416.
Privitera, D., & Nesci, F. S. (2015). Globalization vs. Local. The Role of Street Food in the Urban Food System. Procedia Economics and Finance, 22, 716–722. doi:10.1016/s2212-5671(15)00292-0
Sims, R. (2009) Food, Place and Authenticity: Local Food and the Sustainable Tourism Experience. Journal of Sustainable Tourism 17(3):321-336.
Winarno, F. G., By, & Lee, J. (2017, March 21). Street food in Asia: An industry that is much better than its reputation: Heinrich Böll Foundation: Southeast Asia Regional Office. Heinrich-Böll-Stiftung. Retrieved June 20, 2022, from https://th.boell.org/en/2017/03/21/street-food-asia-industry-much-better-its-reputation