Sepanjang tahun 2022 yang lalu, isu soal kendaraan listrik menjadi hal yang banyak diperbincangkan dan menjadi seolah-olah adalah “masa depan dari transportasi”. Tren elektrifikasi kendaraan bermotor yang diproduksi secara massal mulai marak pada sekitar tahun 2018 oleh perusahaan Tesla, yang kemudian diikuti oleh berbagai produsen kendaraan bermotor, yang pada akhirnya juga masuk ke Indonesia. Belakangan ini pula, tak sulit untuk menjumpai kendaraan dengan garis biru di sisi bawah plat nomor kendaraan, terutama di kota-kota besar.
Kendaraan Listrik Adalah Masa Depan Transportasi?
Sebenarnya, dengan pasar dan industri kendaraan bermotor yang bergeser menjadi berbasis listrik, tak bisa dielakkan jika kita akan melihat semakin banyak kendaraan listrik yang berlalu-lalang di masa depan. Pertumbuhan mobil listrik di Indonesia tidak semata-mata disebabkan oleh mekanisme pasar, tetapi juga oleh intervensi pemerintah. Presiden Joko Widodo pada tahun 2019 yang lalu menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 55 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai yang tentu saja mengakselerasi industri kendaraan listrik di Indonesia. Pemerintah juga memberlakukan berbagai macam insentif, seperti keringanan pajak, pembebasan bea balik nama, subsidi, hingga bebas dari pemberlakuan ganjil genap untuk di Jakarta. Keuntungan-keuntungan tadi sebenarnya adalah keuntungan ‘tambahan’, di samping penggunaan mobil listrik sendiri diklaim lebih ekonomis. Sebagai perbandingan, harga satu liter bensin rata-rata adalah Rp12.000 untuk jarak tempuh 8-12 km, ekuivalen dengan 1,3 kWh yang bisa diperoleh dengan harga Rp1.400 – tidak sampai 20 persen dari biaya 1 liter bensin.
Seolah insentif tersebut belum cukup, beberapa unit di dalam pemerintahan mulai menetapkan kendaraan listrik sebagai kendaraan dinas pejabat, baik di tingkat nasional maupun daerah, yang tertuang di dalam Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 2022. Pertanyaannya, dengan segala insentif dan kebijakan pemerintah mengenai mobil listrik, sebenarnya apa tujuan dan dampak yang diharapkan?
Mengatasi Masalah Polusi?
Manfaat yang sering digaungkan dari kendaraan listrik adalah mengenai dampaknya terhadap polusi udara. Hal ini mengingat kendaraan listrik tidak memiliki sistem pembuangan seperti kendaraan konvensional, yang membuatnya ‘lebih bersih’ karena tidak menghasilkan asap. Selain itu, kendaraan listrik juga tidak menghasilkan suara mesin yang keras, sehingga kebisingan dapat diminimalkan. Namun, dalam perspektif yang lebih luas, perlu diketahui dari mana listrik tersebut berasal.
Laporan dari Kementerian ESDM tahun 2021 menyebutkan jika hanya 14,67% dari total kapasitas pembangkit energi nasional sebesar 73.736 MW yang berasal dari energi baru terbarukan. Dari angka tersebut juga, sebanyak 36.976 MW atau 50% berasal dari PLTU. Sementara itu, jika membahas dari bauran energi listrik pada tahun yang sama, sebesar 66% bauran energi berasal dari batubara dan hanya 13% yang bersumber dari EBT. Adanya tren yang mengarah ke penggunaan kendaraan listrik tentu akan meningkatkan kebutuhan listrik dalam rumah tangga. Maka, jika tidak ada perubahan atau transformasi mengenai energi, emisi-emisi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tentu akan semakin besar – berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan listrik untuk pengecasan mobil listrik.
Sumber: Kementerian ESDM (2021)
Sebagai gambaran, sepanjang tahun 2021, Indonesia menghasilkan 619,28 juta ton karbon dari pembakaran bahan bakar fosil di sektor transportasi dan industri. Angka tersebut menempatkan Indonesia di peringkat kesepuluh penghasil emisi karbon terbesar dunia pada tahun 2021 di sektor tersebut. Dari angka tersebut juga, sekitar 50% dihasilkan dari pembakaran batu bara dan 33% dihasilkan dari pembakaran minyak bumi. Kebutuhan minyak bumi untuk bensin kendaraan bermotor bisa jadi mengalami penurunan. Namun, kebutuhan batu bara dan minyak bumi untuk energi listrik akan tetap sama atau bisa meningkat jika tidak ada transisi energi yang serius dari pemerintah.
Sumber: Our World in Data (2021)
Walaupun begitu, Indonesia tetap punya peluang untuk mengurangi emisi karbon lewat kampanye kendaraan listrik. Penelitian dari Economic Research for ASEAN and East Asia tahun 2019 menyebutkan jika Indonesia mampu mengurangi emisi karbon sebesar sepuluh persen dengan komposisi kendaraan bermotor adalah 30 persen kendaraan listrik, 20 persen kendaraan hybrid dan 50 persen kendaraan konvensional. Namun, pengurangan emisi tersebut baru bisa tercapai jika penggunaan PLTU tidak lebih dari 50 persen dan pembangkit listrik EBT sudah lebih dari 25 persen. Kedua ‘syarat’ tersebut tentu masih jauh dari apa yang ada di kondisi eksisting.
Masalah Kemacetan yang (Masih) Tidak ke Mana-mana
Segala insentif dan promosi pemerintah terhadap mobil listrik pada akhirnya adalah sebuah gerakan untuk memiliki kendaraan pribadi dan membuat masalah kemacetan masih tidak terselesaikan. Pemerintah Indonesia menargetkan Indonesia mencapai net-zero emission pada tahun 2060 dengan salah satu langkahnya adalah peralihan seluruh kendaraan konvensional menjadi kendaraan listrik. Kementerian Perhubungan menyebutkan jika jumlah kendaraan bermotor di Indonesia adalah 126 juta unit sepeda motor, 19 juta unit mobil dan 7 juta unit kendaraan barang. Sementara itu, untuk kendaraan listrik, saat ini terdapat 21.000 sepeda motor listrik dan 3.300 mobil listrik. Jika memang targetnya hanyalah peralihan seluruh kendaraan konvensional menjadi kendaraan listrik, masalah klasik di kota-kota di Indonesia berupa kemacetan tidak akan ke mana-mana.
Ketercapaian net-zero emission juga perlu dilengkapi dengan linimasa yang terstruktur. Tentunya, akan jauh lebih baik jika langkah untuk menuju ketercapaian tersebut didahului oleh transisi dari sumber energi fosil ke sumber energi terbarukan sampai setidaknya 25% dari total bauran energi dan kapasitas tenaga listrik.
Apa yang Sebaiknya Dilakukan oleh Pemerintah Indonesia?
Apa yang dilakukan oleh pemerintah adalah seperti “kesalahan tipe 3” di dalam metode penelitian, yaitu masalah tidak benar-benar dipahami dan menghasilkan solusi yang kurang tepat terhadap masalah sebenarnya. Target net-zero emission seharusnya didahului dengan transisi energi dari sumber energi fosil ke sumber energi terbarukan agar operasional kendaraan listrik tidak ‘nanggung’ atau lebih parah, menghadirkan masalah baru. Proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) diharapkan mampu mendorong transisi ini karena direncanakan sumber energi listrik 100% berasal dari EBT yaitu energi surya, di samping ekosistem kendaraan listrik yang juga ingin diwujudkan di sana.
Pemerintah juga perlu mempromosikan mobilitas aktif yang tentu lebih berkelanjutan, yaitu kendaraan umum, bersepeda dan berjalan kaki. Pengadaan bus listrik merupakan inisiasi yang positif dan layak untuk diteruskan. Proyek ini sudah dimulai di Jakarta, serta Bandung dan Surabaya walaupun sempat mandek. Pengembangan kota yang lebih ramah pesepeda dan pejalan kaki akan menghadirkan manfaat yang lebih luas dan komprehensif. Masalah-masalah seperti mobilitas perkotaan, keselamatan pejalan kaki, kesehatan, polusi, kebutuhan ruang publik hingga kebahagiaan warga kota dapat menjadi lebih baik.
Para pemangku kepentingan perlu memandang masalah ini dengan perspektif yang lebih luas, serta hubungannya antara satu masalah dengan masalah lainnya. Transisi yang hanya fokus pada moda transportasinya, namun melupakan aspek lain seperti lingkungan, sosial dan sumberdaya, menjadikan target net-zero emission sulit dicapai dan kota-kota hanya akan tetap menjumpai masalah klasik, bedanya yang macet adalah mobil listrik.
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (2022). Capaian Kinerja 2021 dan Rencana 2022 Subsektor Ketenagalistrikan
The Conversation. (2019). https://theconversation.com/jokowi-galakkan-mobil-listrik-tapi-riset-tunjukkan-2-faktor-bisa-hambat-efektivitasnya-untuk-turunkan-emisi-gas-rumah-kaca-121878