Skip to content
Home » Artikel » Tata Nilai Komunitarian Sebagai Dasar Pikiran bagi Pembangunan Berbasis Komunitas

Tata Nilai Komunitarian Sebagai Dasar Pikiran bagi Pembangunan Berbasis Komunitas

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Kekuatan Komunitas Sebagai Pilar Pembangunan” Fakultas Teknik Arsitektur, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jakarta 24-25 April 2002

Oleh Wicaksono Sarosa

Ilustrasi Pengantar

Tiga orang sekawan sedang mengomentari sebuah proyek permukiman bagi masyarakat miskin yang berhasil dibangun secara partisipatif dan telah mendapat pujian dari berbagai kalangan

Kawan A:

Proyek itu kelihatannya saja bagus, tetapi sayangnya proyek ini menghabiskan banyak sekali subsidi dari luar. Subsidi ini menyebabkan distorsi pasar, padahal pasarlah yang bisa secara efisien menyediakan berbagai komoditas termasuk rumah. Selain mendistorsi pasar, subsidi selalu harus melalui birokrasi, dan ini membuka peluang korupsi.”

Kawan B:

“Menurut saya, tidak ada salahnya memberikan subsidi kepada orang miskin, daripada memberikan subsidi kepada konglomerat. Lagipula konstitusi kita pun mengharuskan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya, yang tentunya termasuk kebutuhan akan papan yang layak. Rumah tidak bisa selalu dianggap komoditas, apelagi rumah untuk kaum miskin.”

Kawan C:

“Saya setuju bahwa negara memang harus bertanggung-jawab dalam membuka peluang yang sama bagi pemenuhan kebutuhan dasar termasuk rumah; dan bahwa rumah untuk kaum miskin tidak bisa dianggap sebagai komoditas pasar. Namun, saya juga melihat masalah pada subsidi yang terlalu besar, karena hal ini dapat ‘membunuh’ kreatifitas komunitas tersebut dengan menyiratkan seolah-olah komunitas tersebut tidak memiliki potensi untuk mengembangkan diri. Padahal semiskin-miskinnya sebuah komunitas pasti mempunyai potensi untuk berkontribusi, walau memang tidak harus berupa uang.”

Kawan B:

“Tetapi menurut saya tidaklah fair kalau orang miskin disuruh berkontribusi dalam pembangunan perumahan dan lingkungan mereka, padahal untuk hidup sehari-hari saja sudah susah; sementara sebagian anggota kelas menengah bisa secara tidak langsung mendapat subsidi untuk perumahan mereka.”

Kawan A

“Justru itulah contoh kalau negara mau ikut mengatur pasar, selalu ada saja salah asumsi. Biarlah individu-individu di dalam mekanisme pasar itu yang akan menentukan di mana dan di rumah seperti apa mereka ingin tinggal. Itu adalah hak mereka, jangan diatur oleh negara ataupun komunitasnya sendiri. Yang penting adalah mengajarkan mereka jiwa kewirausahaan yang dapat membuat mereka berusaha untuk punya uang. Baru setelah itu mereka akan memperbaiki rumahnya sendiri-sendiri. Kalaupun akhirnya masih ada yang miskin, itu salah sendiri karena mungkin saja mereka malas berusaha”

Kawan C:

“Lho, kalau memang di antara mereka sudah terdapat ikatan kebersamaan yang kuat mengapa tidak diupayakan kesatu-paduannya? Bukankah dengan kerjasama di antara mereka, potensi tergabung bisa lebih besar daripada jumlah total potensi individu yang ada. Lagipula, kan nggak bisa hanya diajarkan ketrampilan wirausaha, mereka kan juga perlu modal usaha.”

Dan seterusnya, dan seterusnya. Mereka bisa berdebat tiada henti-hentinya karena memang dasar pijakan berpikirnya–atau basis filosofinya–berbeda. Kawan A mungkin penganut paham individualisme yang percaya bahwa pendekatan laissez-faire merupakan pendekatan yang terbaik karena efisien dan memberikan kebebasan kepada individu dalam menentukan pilihannya. Kawan B sepertinya condong pada paham sosialisme yang sangat anti kesenjangan sosial dan cenderung memberikan peran yang dominan kepada negara. Sementara itu Kawan C boleh jadi berpaham komunitarian karena sangat menekankan kepada potensi komunitas yang dapat dibangun melalui rasa kebersamaan yang kuat.

Mencari Dasar Pijakan

Walau tentu saja tidak dapat menggambarkan secara lengkap ciri-ciri paham yang disebutkan, ilustrasi singkat di atas menggambarkan betapa respons terhadap masalah yang sama bisa sangat berbeda jika dasar pijakan (sudut pandang, worldview atau paradigma) bagi tindakan kita berbeda. Pertanyaan yang mungkin tidak banyak diajukan dalam pembangunan yang berbasis komunitas adalah “Dasar pijakan apa yang paling tepat bagi pembangunan yang berbasis komunitas?”

Pertanyaan semacam ini tidak banyak diajukan oleh para fasilitator pembangunan berbasis komunitas karena dinilai terlalu teoritis atau sudah diterima sebagaimana adanya (taken for granted, seolah-olah tidak perlu dipertanyakan karena sudah “dianggap jelas”) atau bahkan dianggap tidak penting. “Partisipasi”, misalnya, sudah menjadi semacam jargon yang dipakai di mana-mana oleh siapa saja, walau bentuk pelaksanaan “partisipasi” tersebut bisa sangat berbeda-beda. Jika kita tidak kritis dalam hal ini, serta tidak memiliki kepercayaan yang kuat atas apa yang kita lakukan, bisa jadi “pembangunan berbasis komunitas” tergelincir menjadi sekedar “mode” sebagaimana berbagai model pembangunan yang pernah ada.

Untuk menemu-kenali dasar pijakan yang paling “pas” bagi pendekatan pembangunan yang berbasis komunitas, maka ada baiknya kita mencoba memahami lebih jauh apa itu hakikat “komunitas” serta apa artinya bagi individu, masyarakat dan negara dalam konteks proses pembangunan.

Hakikat Komunitas

Ketika berbicara tentang atau bertindak bersama komunitas, kita seringkali tidak begitu peduli dengan arti “komunitas” yang sebenarnya, karena toh “komunitas tersebut sudah “ada” dan berbeda-beda bentuknya dari satu komunitas ke komunitas lainnya. Dalam hal ini, terdapat kesepakatan bahwa yang dimaksud dengan komunitas adalah kumpulan individu-individu yang memiliki semacam ciri pemersatu (unifying traits), baik berupa tempat tinggal yang sama, profesi yang sama, kepercayaan yang sama, kepentingan yang sema, suku-bangsa yang sama atau bahkan nasib yang sama. Komunitas bisa memiliki ruang berkumpul/berkomunikasi yang nyata (fisik), tetapi–pada masa kini–bisa juga bersifat virtual melalui dunia cyber.

Kesamaan tersebut kemudian membentuk ikatan, yang bisa sangat kuat (strong sense of community) atau sangat lemah (weak sense of community). Ikatan komunitas yang kuat tentunya lebih dapat mempengaruhi perilaku individu anggota komunitas tersebut daripada ikatan yang lemah. Kuat atau lemahnya ikatan komunitas sangat tergantung oleh banyak hal, seperti banyaknya kesamaan (unifying traits) yang ada di antara para anggota, intensitas interaksi yang terjadi di antara mereka, arti dari komunitas bagi masing-masing anggota dan lain-lain. Faktor luar (eksternal) juga dapat mempengaruhi kuat-lemahnya ikatan komunitas tersebut. Demikian pula ruang (ikatan bisa berubah dengan berubahnya ruang pemersatu) dan waktu (ikatan bisa berubah seiring dengan jalannya waktu).

Namun ada satu hal yang cukup mendasar yang dapat mempengaruhi ikatan komunitas tersebut, yaitu cara pandang (worldview) tentang komunitas itu sendiri. Dalam hal ini terdapat dua argumen ontologis (ontological arguments) yang berbeda dan yang terkait dengan pengertian tentang individu manusia:

Argumen A: Bahwa komunitas itu pada dasarnya merupakan kumpulan individu-individu yang diikat olet, semacam kontrak sosial (social contract). Hal ini didasari atas pengertian bahwa manusia adalah makhluk individu. Individu selalu lebih dulu, baru kemudian komunitas.

Argumen B: Bahwa komunitas adalah suatu entitas organik (organic entity) dengan individu-individu sebagai salah satu “ingredients“nya. Manusia adalah makhluk sosial, yang baru akan “lengkap sebagai manusia” setelah menjadi bagian dari sebuah kehidupan sosial (sebagaimana pandangan Aristoteles). Tidak ada yang selalu didahulukan antara individu dan komunitas (sangat tergantung pada konteks sesaat).

Di era modern, Argumen A tampaknya lebih banyak memiliki pengikut, terutama seiring dengan semakin merebaknya pandangan liberalisme (yang sering diboncengi oleh paham individualisme) atau bahkan libertarianisme (individualisme yang sangat ekstrim). Hancurnya komunisme di awal 1990an dan semakin berkuasanya paradigma kapitalisme menciptakan lingkungan yang sangat kondusif bagi kepercayaan seperti ini. Namun, dengan berbagai kegalauan yang saat ini sedang dialami oleh manusia modern, banyak orang mulai menengok ke Argumen B, yang sebenarnya merupakan pandangan yang banyak dianut oleh masyarakat tradisional (pra-modern) tetapi kemudian mulai ditinggalkan oleh manusia modern yang cenderung berpikir mekanistis dan atomistis, bukan organis.

Kegalauan Masyarakat Modern

Sudah banyak scholars yang menuliskan kegalauan masyarakat modern, akibat dari pendekatan terhadap kehidupan yang dianutnya sendiri. Sifat manusia modern yang cenderung individualistis, mementingkan hak-hak individu, mobile, dan memiliki keanggotaan pada berbagai komunitas (multiple memberships) menyebabkan semakin tipisnya ikatan komunitas yang dimiliki manusia modern pada umumnya.

Sebagaimana yang dosoroti oleh Robert Putnam (1993) dalam “Bowling Alone”, individualisme telah menyebabkan manusia moderen kehilangan apa yang dinamakan “social capital” atau modal sosial sebagaimana terlihat pada meluasnya “civil disengagement” atau ketidakacuhan terhadap hal-hal yang bersifat kepentingan umum (diiringi dengan pendapat “yang penting kebutuhan saya terpenuhi”). Sebagaimana yang diamati oleh Henry Tam (1998), Michael Sandel (1996) dan lain-lain, ternyata hal ini bisa membahayakan demokrasi, sebuah institusi sosial yang justru ingin kita bangun dan pertahankan. Mereka misalnya melihat ketidakmampuan manusia modern pada umumnya untuk mempengaruhi berbagai kekuatan yang mempengaruhi kehidupannya menyebabkan apa yang dinamakan “drop-out culture“, “public apathy” alias cuek (seperti dalam pernyataan “emangnye gue pikirin“) serta “withdrawal from civic engagement” (menarik diri dari berbagai ‘tugas’ kemasyarakatan dan lebih tertarik untuk melakukan hal-hal yang bersifat pribadi atau swasta).

Lebih lanjut, Amitai Etzioni (1998) melihat bahwa kita saat ini sedang berada di dalam apa yang dinamakan “regime of rights“, di mana manusia lebih asyik (preoccupied) memperjuangkan hak-hak individualnya dan melupakan bahwa bersamaan dengan hak-hak tersebut harusnya terdapat pula kewajiban. Dalam hal ini, Sandel mengatakan bahwa hak-hak tersebut tidak banyak artinya jika berada di dalam sebuah masyarakat yang “lacking civic good“. Dalam bukunya yang berjudul “Democracy’s Discontent”, Sandel bahkan berargumentasi bahwa masyarakat yang demikian telah menurunkan derajat demokrasi menjadi sekedar pengumpulan dan pemilihan suara (vote-getting dan voting) yang mudah dimanfaatkan oleh kekuatan sosial-politik yang ada. Anggota masyarakat luas kemudian menjadi kehilangan kepercayaan kepada institusi sosial resmi, dan hal ini dapat menyebabkan krisis dalam demokrasi.

Selanjutnya, mobilitas yang semakin tinggi dari masyarakat modern (termasuk sebagian kaum petani yang secara reguler pergi ke kota pada saat menunggu panen) juga dapat menyebabkan rendahnya “sense of ownership” terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Akibatnya, mereka selalu merasa tinggal untuk sementara, dan oleh karena itu mereka cenderung untuk tidak melakukan “investasi” terhadap lingkungan “sementara” mereka.

Perkembangan teknologi informasi (yang kemudian membuat banyak manusia asyik berinteraksi di dalam “virtual community“), ketergantungan kepada penggunaan kendaraan pribadi (yang membuat banyak manusia berada dalam kesendirian selama berjam-jam setiap hari di dalam kotak berjalan tersebut), hubungan antar manusia yang cenderung superfisial, serta kesibukannya dalam mengumpulkan kekayaan ekonomi (atau sekedar untuk mempertahankan kehidupan) telah menyebabkan rendahnya ikatan komunitas di antara manusia moderen. Hal ini menyebabkan manusia moderen galau, dan secara sadar atau tidak sadar timbul perasaan rindu akan keguyuban sebuah komunitas.

Dalam konteks topik yang kita bicarakan, terdapat dua macam respons terhadap kegalauan masyarakat moderen akan semakin menipisnya ikatan komunitas yang ada tersebut. Respons yang pertama adalah mengupayakan kembalinya berbagai tata-nilai komunitarian tradisional dalam tatanan yang sudah menjadi moderen ini namun dengan mengurangi unsur paternalistik yang terlalu kuat mengakar pada banyak masyarakat tradisional. Tata-nilai komunitarian yang ini dianggap dapat mengembalikan jati-diri manusia sebagai makhluk sosial sekaligus mengurangi kemungkinan penguasaan oleh kekuatan sosial-politik tertentu dalam kehidupan publik akibat terlalu cueknya kita terhadap hal-hal yang bersifat publik.

Respons yang kedua justru tidak menghendaki ditonjolkannya kembali peran komunitas. Proponen dari respons ini yang umumnya adalah kaum liberal–atau libertarian–mengkhawatirkan jika komunitas terlalu ditonjolkan, maka akan banyak hak-hak individu yang terkekang dan akan terjadi penguasaan oleh mayoritas terhadap minoritas (tirani mayoritas). Proponen pandangan ini tidak terlalu mempermasalahkan semakin individualistisnya masyarakat moderen.

Namun kekhawatiran kaum liberal atau libertarian tersebut ditolak oleh pendukung tata nilai komunitarian baru (yang tidak lagi sama persis dengan yang pernah ada pada masyarakat tradisional), karena dalam tata nilai komunitarian pascamodern ini, hak-hak individu tetap dihargai (karena individu dianggap sebagai “ingredients” yang menentukan “vibrancy” dari sebuah komunitas). Perbedaan pendapat pun merupakan hal yang harus diterima. Demikian pula berbagai “aturan main” yang tidak memungkinkan

Pergolakan yang terurai di atas terlihat lebih jelas di dunia Barat. Di dunia Timur, nilai-nilai komunitarian tidak pernah hilang sama sekali. Namun, kegalauan semacam ini kini menjadi sangat relevan di dunia Timur karena justru masyarakat di belahan dunia inilah yang sekarang paling gigih mengadopsi “the idea of progress” atau gagasan bahwa manusia itu harus selalu berkembang, baik secara ekonomis, teknologis atau lainnya, jauh lebih gigih daripada masyarakat di dunia Barat (Norgaard 1994). Seiring dengan upaya memperjuangkan hak-hak individunya, masyarakat di dunia Timur pun mulai bersikap individualistis. Padahal, pada saat yang sama, banyak anggota masyarakat di dunia Barat justru sedang berpaling ke dunia Timur untuk mencari nilai-nilai yang mereka rasakan telah hilang (“there is a hole in the sour” katanya).

Prinsip-prinsip Komuntarian

Dalam upaya menemukan kembali tata-nilai komunitarian–termasuk apa yang dianggap sebagai civic goods–banyak pendukung paham ini yang telah mengidentifikasi berbagai karakteristik yang relevan dengan tantangan jaman pascamodern ini. Pada intinya, komunitarianisme menolak penekanan yang berlebihan kepada individualisme tetapi juga tidak ingin menciptakan munculnya otoritarianisme. Yang dicari adalah keseimbangan antara hak- hak individu dengan kewajiban-kewajiban individu terhadap komunitasnya serta kewajiban komunitas terhadap anggota-anggotanya (Etzioni, 1998). Inilah yang disebut sebagai komunitas yang responsif terhadap anggotanya.

Selanjutnya, Henry Tam mengusulkan sebuah komunitas komunitarian yang inklusif, yang pada dasarnya memiliki tiga prinsip utama:

  • Penelusuran kooperatif (cooperative inquiry). Prinship ini mensyaratkan bahwa setiap klaim akan kebenaran harus melalui proses ini untuk dapat diterima secara bersama-sama. Ini sama saja dengan pendekatan “musyawarah untuk mufakat”. Dengan cara ini, tidak akan terjadi otoriterianisme, karena tidak bisa satu orang mengklaim bahwa hanya pendapat dia seoranglah yang paling benar. Pada masyarakat yang semakin plural, tuntutan akan hal ini justru semakin tinggi (seperti dalam negosiasi atau resolusi konflik). Sebagaimana yang sudah dikritik oleh Sandel, pemungutan suara (voting) saja ternyata tidak memadai, bahkan sering menurunkan derajat manusia menjadi sekedar “suara”.
  • Kewajiban bersama (mutual responsibility). Prinsip yang kedua ini mensyaratkan bahwa semua anggota komunitas tidak hanya memiliki hak tetapi juga kewajiban yang harus dilaksanakan baik secara individu maupun secara bersama-sama.
  • Hubungan yang berdasarkan kesetaraan (equal power relations). Prinsip ini mensyaratkan bahwa semua anggota komunitas harus diperlakukan secara sama, terlepas dari posisi sosial, kekayaan atau atribut-atribut individual lainnya.

Berbagai kata kunci lain yang menggambarkan karakteristik dari masyarakat komunitarian antara lain adalah manusia sebagai makhluk sosial, kuatnya ikatan kebersamaan (“sense of community”), besarnya rasa memiliki bersama (“sense of public ownership“), komunitas yang inklusif (semua pihak diajak), kontrol oleh komunitas terhadap hal-hal yang mempengaruhi kehidupan bersama, gotong-royong atau saling tolong-menolong. penghormatan terhadap hak-hak orang lain (tidak asal “main serobot”), penekanan pada pencarian harmoni, keseimbangan antara “civic goods” dan “individual liberty” dan lain-lain.

Dalam mengupayakan terwujudnya hal-hal di atas, para pendukung pandangan komunitarian lebih menekankan pendekatan moral daripada penedakatan legal. Dan penilaian kinerjanya sangat ditentukan oleh konteks rdan waktu (tergantung situasi dan kondisi). Jika akan diterapkan pada masyarakat yang sudah kuat unsur-unsur kontrol sosialnya, maka penekanan memang harus pada hak-hak individu, sedangkan jika akan dikampanyekan pada masyarakat yang sudah cenderung invidualistis, maka penekanan harus kepada pentingnya kewajiban-kewajiban sosial.

Pembangunan Lokal yang Berbasis Komunitas

Dalam kaitannya dengan pembangunan di tingkat lokal yang berbasis komunitas, maka pandangan komunitarian melihat bahwa jika komunitas lokal dapat berfungsi dengan baik (termasuk memelihara hubungan baik dengan komunitas lokal disekitarnya) maka intervensi dan pemerintah di tingkat yang lebih tinggi menjadi tidak banyak diperlukan. Karena itu, pembangunan lokal yang berbasis komunitas harus benar-benar berangkat dari potensi yang sudah ada di dalam komunitas tersebut.

Dengan lebih menekankan pada penggunaan potensi lokal secara bijaksana tersebut, maka diharapkan timbul kepercayan diri pada anggota komunitas tersebut bahwa mereka bisa berbuat sesuatu yang baik buat mereka sendiri. Dalam hal ini, proses pembelajaran sosial (social learning) menjadi sangat penting. Proses partisipatif jangan hanya dilihat sebagai peran serta anggota masyarakat dalam proses pembangunan tetapi juga sebagai sarana bagi proses pembelajaran tentang pentingnya berbagi (sharing), berkontribusi maupun tolong-menolong

Dalam konteks social learning inilah, pendekatan pembangunan komunitas masyarakat miskin yang seringkali melibatkan transfer material yang relatif sangat besar dan bersifat charity atau subsidi (walaupun tujuannya baik, yaitu mengeluarkan kaum miskin dari lingkaran kemiskinan) seringkali dianggap tidak “pas” dengan pendekatan komunitarian. Pemanfaatan potensi lokal, seberapapun sedikitnya, harus selalu diupayakan.

Dalam pembangunan masyarakat desa, soal “sharing” tersebut di atas seringkali relatif tidak terlalu banyak masalah karena pada umumnya masyarakat desa masih mempertahankan berbagai tata-nilai komunitarian. Namun dalam konteks pembangunan untuk, bagi dan oleh masyarakat miskin kota, pengajaran tentang prinsip berbagi (dengan sesama maupun terhadap kepentingan publik) menjadi lebih penting karena kehidupan kota seringkali telah membuat manusianya lebih individualistis. Padahal justru di kota inilah prinsip “sharing” sangat dibutuhkan.

Penekanan pada “social learning” juga akan memberikan “masukan dalam proses pengambilan keputusan tentang tingkat partisipasi mana yang akan diterapkan pada saat yang mana dengan jangkauan masyarakat yang sebrapa luas. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama – dan tentunya akan dibahas secara lebih rinci oleh penyaji-penyaji yang lain – partisipasi bisa memiliki tingkatan yang berbeda-beda (Arnstein 1969), dari yang paling rendah (manipulation dan therapy), tingkat tengahan (informing, consultation dan placation), hingga yang paling tinggi (delegated power dan citizen control). Pendekatan gradual biasanya memberikan peluang bagi proses pembelajaran oleh anggota komunitas yang lebih mendalam daripada pendekatan yang bersifat dadakan.

Pendekatan komunitarian juga dapat digunakan dalam konteks yang memiliki masalah dengan penggunaan sumberdaya bersama (common-pool resource) sebagaimana yang sering diilustrasikan melalui kisah “tragedy of the commons” melalui apa yang disebut sebagai “mutually agreed-upon coercion” atau pembatasan diri yang disetujui secara bersama-sama untuk menghindari kehancuran dari sumberdaya bersama tersebut (Hardin 1968).

Kata Penutup

Dengan memahami hakikat dari komunitas–baik yang bersifat intrinsik maupun instrumental–dan menyadari prinsip-prinsip pendekatan atau tata nilai komunitarian, maka pelaksanaan pembangunan lokal yang berbasis komunitas dapat lebih “mudah dijalankan”. Setidaknya, pemahaman ini akan dapat membantu dalam berbagai proses pengambilan keputusan yang pada pembangunan komunitas seringkali bersifat sangat kompleks. Kemungkinan terjadinya manipulasi oleh segelintir pihak pun mungkin dapat dihindari.

Perlu pula dicatat bahwa tata nilai komunitarian tidak akan dengan mudah dipromosikan melalui persuasi moral begitu saja. Pendekatan moral harus pula disertai dengan fasilitasi baik yang bersifat fisik maupun institusional serta menggunakan berbagai instrumen (seperti insentif dan disinsentif) yang dapat mempengaruhi perilaku manusia. Dengan menggunakan tata-nilai komunitarian sebagai dasar pijakan bagi pembangunan yang berbasis komunitas ini maka dapat diharapkan kontribusinya akan lebih besar dan mendasar dari hasil yang sifatnya peacemeal sebagaimana yang seringkali dilemparkan oleh para pengkritik.

Referensi

Amin, Muhammad, 1992, Konsep Masyarakat Islam (terjemahan dari Al-Mujtama’ Al-Islami, oleh Abdul Majid Khudlori), Jakarta: Penerbit Fikahati Aneska.

Amstein, Sherry, 1969, “A Ladder of Citizen Participation”, Journal of the American Institute of Planners, Spring Edition.

Etzioni, Amitai (ed.), 1998, The Essential Communitarian Reader, Lanham, MD: Rowman and Littlefield Publishers, Inc.

Giddens, Anthony, 1998, The Third Way: The Renewal of Social Democracy, Cambridge, UK: Polity Press.

Habermas, Jurgen, 1991. Moral Consciousness and Communicative Action (translated by Christian Lenhardt and Shierry Webber Nicholsen from Moralbewusstsein und Komunikatives Handein), Cambridge, MA: The MIT Press.

Hardin, Garret, 1968, “The Tragedy of the Commons” Science, December edition.

Norgaard, Richard, 1994, Development Betrayed: The End of Progress and a Coevolutionary Revisioning of the Future, London, UK: Routledge.

Sandel, Michael, 1996, Democracy’s Discontent: America in Search of a Public Philosophy, Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press.

Sarosa, Wicaksono, 2000/2001, Infrastructure-based Community Development: Theory and Practice of Sustainable Development at the Local Level with a Participant-Observation of Three Pilot Projects in Rural Villages of Java, Indonesia. Ph.D. Dissertation, Berkeley, CA: University of California.

Tam, Henry Benedict, 1998, Communitarianism: A New Agenda for Politics and Citizenship, New York, NY: New York University Press.

Leave a Reply