Skip to content
Home » Artikel » Krisis Planologi Suburbia

Krisis Planologi Suburbia

Tulisan oleh Yuddy K., Victor W dan pernah diterbitkan dalam KONSTRUKSI edisi Juli 1997, hal 19-21

Perkembangan kota modern, tampaknya tidak lepas dari kritik sepanjang sejarah perkembangannya. Tidak luput pula konsep-konsep kota atau planologi yang lahir dari pemikiran para perencana modern seperti Ebenezer Howard, sampai pada ide pemikiran Le Corbusier. Salah satu kritik paling tajam mengenai perkembangan kota modern tercermin lewat tulisan salah seorang sosiolog terkenal Jane Jacobs. Jacobs yang menulis mengenai kondisi-kondisi perkembangan kota-kota di Amerika lewat bukunya yang cukup dikenal “The Death and Life of Great American Cities”. Kritik Jacobs, terutama menggambarkan bagaimana hambarnya ruang kota dari dogma-dogma perencanaan arsitektur modern pada saat itu. Juga, bagaimana perkembangan teknologi modern beserta industrialisasi telah mengubah sosok dan struktur ruang kota menjadi suatu bentuk kota yang modern.

Dalam struktur kota yang modern, ruang-ruang kota yang tercipta seringkali dikritik sebagai ruang kota yang negatif, kurang memadai untuk menampung berbagai aktivitas kehidupan dan aspek sosial masyarakat. Ruang-ruang kota di antara bangunan-bangunan seringkali merupakan ruang ruang yang tidak terkontrol, tidak aman apalagi nyaman. Salah satu kritik utama Jacobs dengan tegas menunjuk, hal ini merupakan realita bagaimana perencanaan kota di Amerika terbukti gagal, dan bagaimana masyarakat merasa tidak nyaman tinggal di wilayah kota tersebut.

Akibatnya, banyak masyarakat pada saat itu akhirnya memilih untuk meninggalkan pusat kota dan tinggal di kota-kota satelit yang mulai berkembang saat itu. Perkembangan inilah yang melatarbelakangi tumbuhnya berbagai kota satelit di Amerika pada dekade 70-an. Banyak suburbia-suburbia yang tumbuh berkembang di kawasan-kawasan tepi kota dan kemudian dihubungkan lewat jalan tol (inter-state highway) yang menghubungkan kota-kota satelit tersebut dengan pusat-pusat kota.

Di Indonesia khususnya Jakarta, dalam satu dekade terakhir ini fenomena yang kurang lebih sama sedang berlangsung. Kota-kota satelit dengan berbagai tema dan promosi-promosi menawarkan impian masyarakat. Dengan pola yang sama, keberadaan kota-kota satelit ini dimungkinkan dengan keberadaan jalan-jalan tol yang menghubungkan kota-kota satelit-satelit tersebut dengan pusat kota.

Seperti kebanyakan kritik yang disampaikan oleh para aktivis Gerakan New Urbanism, keberadaan kota-kota satelit di samping memenuhi impian banyak orang akan hunian yang hijau dan alamiah, namun juga membawa berbagai efek samping yang negatif. Keberadaan kota-kota satelit telah megakibatkan suatu ruang yang terfragmentasi yang mengisolasikan para penghuni kota tersebut dari teman dan sanak saudara mereka.

Tergantung pada mobil

Dalam suatu perbincangan dengan Konstruksi, Ir. Wicaksono Sarosa MCRP (kandidat Ph.D) yang sedang menyelesaikan disertasi doktoratnya di University of California (UCLA) Berkeley, menyatakan, “banyak hal yang perlu diperhatikan saat kota-kota satelit di sekeliling Jakarta nanti terbentuk.” Salah satu kecenderungan saat ini, adalah kota-kota satelit di Jakarta saat ini sangat berorientasi kepada mobil. Dikarenakan satu-satunya jalur yang menghubungkan kota satelit tersebut dengan pusat kota adalah jalan tol.

Akibatnya, para penghuni kota-kota satelit (suburbia) sangat tergantung kepada mobil tanpa ada banyak alternatif alat transportasi lainnya. Selain itu, keberadaan kota-kota satelit semakin hari semakin bertambah, dan kian banyak membawa akibat, dengan bertambah banyaknya mobil yang ditampung oleh jalan tol tersebut. Jalan tol pada akhirnya, menampung jumlah kendaraan dalam volume yang sangat tinggi, terutama pada jam-jam sibuk, saat berangkat kerja di pagi hari, dan jam pulang kerja di sore hari.

Fenomena inilah yang saat ini sedang terjadi di jalan-jalan tol yang menghubungkan beberapa kota satelit dengan pusat kota Jakarta. Jalan tol Tangerang-Jakarta misalnya, tiap pagi dihiasi dengan pemandangan kemacetan lalulintas.

Karena padatnya lalulintas di jalan tol tersebut, akhirnya memaksa sebagian besar penghuni untuk berangkat kerja lebih awal di pagi hari. Dan sebaliknya bekerja atau menunggu lebih malam, setelah arus kemacetan di jalan tol tersebut mulai berkurang. Fenomena ini mungkin akan membawa akibat sosial terhadap para penghuni kota satelit di masa yang akan datang.

Menurut Wicaksono Sarosa, kebanyakan kota-kota baru di Indonesia dirancang dengan ketergantungan yang besar terhadap mobil. Kecenderungan yang sama juga terjadi di kota-kota satelit di Amerika, sehingga untuk membeli sedikit kebutuhan saja orang harus mengeluarkan mobilnya untuk mencapai tempat tersebut”. Padahal, mungkin tempat itu akan lebih mudah dijangkau dengan jarak yang tidak terlalu jauh, sehingga mungkin untuk dicapai hanya dengan berjalan kaki,” ungkapnya.

Calthorpe mengemukakan salah satu prinsip yang dinamakan Transit Oriented Development (TOD). Sistem TOD memberikan alternatif terhadap pola pengembangan yang tradisional selama ini. Manifestasi dari sistem ini bisa diwujudkan tidak hanya dalam kawasan kota satelit atau kawasan suburbia, namun juga dimungkinkan suatu kawasan di suatu bagian dari pusat kota. Pembangunan ini bertujuan menciptakan suatu kawasan dengan gabungan berbagai macam aktivitas, yang penting kesemuanya itu terletak dalam jangkauan pejalan kaki. Dengan demikian, pada akhirnya masyarakat akan mengalami kekurang-tergantungan kepada mobil.

Dalam hubungan dengan konteks kota-kota satelit baru di Jakarta saat ini, menurut Wicaksono,” Memang, saat ini ketergantungan terhadap mobil dan akses jalan tol masih besar. Namun perlu dicari alternatif moda transportasi publik yang lain untuk mengurangi ketergantungan tersebut.

Di samping itu, tidak hanya perlu disediakan moda transportasi alternatif, tetapi pola guna lahan dan kepadatannya di sesuaikan dan berorientasi kepada moda transportasi tersebut. Sehingga di masa yang akan datang kota tidak hanya tergantung kepada mobil dan jalan tol. Sistem penghubung ini mungkin akan seperti Para Transit Oriented Development (P-TOD).

Isu mengenai public space juga mendapat perhatian dari para aktivis gerakan New Urbanism. Meskipun umumnya kota satelit direncakankan dengan konsep ruang terbuka di sekeliling yang hijau, namun seringkali aksesibilitas dan pencapaian ke ruang-ruang publik ini mengurangi efektivitas dari ruang publik tersebut.

Menurut Wicaksono Sarosa, “Penting untuk melihat lebih jauh konteks dari pada pemikiran-pemikiran gerakan Urbanisme Baru ini di Indonesia. Namun, penting juga utnuk membawa pemikiran ini kepada publik dan para developer, karena merekalah para pengambil keputusan langsung dalam hal ini semua”.

Mengutip salah satu tulisan dari aktivis gerakan Urbanisme Baru, Peter Calthorpe, “Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mencari kemungkinan yang terbaik bagi perencanaan kota, dalam skala kawasan maupun skala lingkungan, dan untuk mengaitkannya dalam berbagai skala dan konteks. Pada akhirnya gerakan Urbanisme tidak hanya tertuju kepada kota satelit atau kota, namun untuk mendefinisikan arti dan wujud dari suatu komunitas hidup bersama dan lingkungan sekitarnya, dengan berbagai keanekaragaman, skala dan ruang hidup dalam berbagai konteksnya.