Oleh: Wicaksono Sarosa
Prahara global Covid-19 menciptakan ketidakpastian yang sangat tinggi bagi hampir semua pihak di bumi ini. Kepala negara dan daerah terpaksa harus berhadapan dengan buah simalakama: bereskan urusan kesehatan dulu secepatnya yang berarti menghentikan sementara sebagian besar kegiatan ekonomi atau upayakan penanggulangan wabah dengan sesedikit mungkin dampak negative pada ekonomi, khususnya ekonomi rakyat kecil?
Para pengusaha dan pimpinan organisasi juga menghadapi dilema yang sama: rumahkan karyawan yang berarti produktifitas menurun, jika tidak berhenti sama sekali, atau tetap berproduksi seperti biasa dengan resiko ancaman kesehatan bukan hanya bagi karyawan tapi juga masyarakat luas? Keluarga dan individu pun banyak yang galau: mudik/pulang kampung sebelum dilarang atau tidak sama sekali?
Belum lagi rencana-rencana lain yang sudah matang disiapkan sebelum terjadinya prahara pandemi ini. Pindah ibukota? IPO? Festival? Konferensi? Kelanjutan kompetisi olah raga? Resepsi pernikahan? Banyak acara yang jadi batal atau tertunda. Dan kita semua sulit membuat rencana akibat kita tidak tahu kapan situasi seperti ini akan berakhir. Kita tidak tahu kapan virus korona SARS CoV-2 dapat dikalahkan. Ketidakpastian makro mengakibatkan ketidakpastian mikro (perusahaan, organisasi, individu).
Dalam situasi seperti ini, saya tergelitik untuk melongok tulisan sendiri, “Membuat Rencana di Tengah Ketidakpastian”, yang dimuat di harian Kompas, 10 Juli 2001. Waktu itu, di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, situasi makro di Indonesia diliputi banyak ketidakpastian. Sebagian penyebab adalah sisa-sisa krisis moneter dan ekonomi beberapa tahun sebelumnya, sebagian lagi akibat dari gonjang-ganjing politik yang tidak kunjung stabil. Ketidakpastian yang lebih ekstrim dan meluas sedang kita hadapi saat ini. Masih bergunakah kerangka membaca situasi yang saya tulis 19 tahun yang lalu untuk situasi sekarang? Tidak ada salahnya kita coba lihat.
Empat situasi perencanaan
Artikel lama saya tersebut mengajak pembaca untuk menengok sejenak disiplin ilmu perencanaan (“planning”). Di situ saya merujuk sebuah artikel klasik “Coping with Uncertainty in Planning” di Journal of American Planning Association, 1985, oleh Professor Karen Christensen dari University of California, Berkeley, untuk mencari panduan awal dalam menganalisis keadaan dan menentukan langkah apa yang bisa diambil dalam situasi perencanaan tertentu.
Christensen menyederhanakan berbagai situasi perencanaan ke dalam empat kategori (lihat gambar di bawah). Situasi pertama adalah yang paling kita inginkan, yaitu keadaan di mana kita memiliki kesepakatan tentang tujuan yang ingin dicapai dan memiliki cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam situasi ideal seperti itu, perencana atau pengambil keputusan tinggal melakukan proses rasional (“rational process”) untuk mencapai tujuan tersebut. Situasi seperti ini banyak ditemui di “zaman normal” ketika segala sesuatu dapat diprediksi dengan tingkat akurasi yang relatif tinggi.
Situasi kedua adalah ketika semua pihak yang terkait telah bersepakat tentang tujuan bersama, tetapi tidak atau belum mengetahui cara untuk mencapainya. Dalam situasi ini, perencanaan lebih merupakan sebuah proses pembelajaran (“learning process”). Karena itu, perencanaan dan pelaksanaan yang bisa dilakukan cenderung bersifat inkremental, “trial and error”, eksperimentatif dan mencari inovasi. Karena itu, yang dibutuhkan adalah kreativitas, keterbukaan-pikiran (“open-mindedness”), dan pragmatisme.
Situasi ketiga terjadi saat tidak ada kesepakatan akan tujuan yang hendak dicapai, namun sebenarnya tersedia aturan main untuk menyatukan tujuan-tujuan yang berbeda itu. Dalam situasi ini, perencanaan lebih berupa proses tawar-menawar (“bargaining process”) atau pengupayaan kesepakatan (“consensus building”). Meski diperlukan kemampuan tawar-menawar yang tinggi, namun seringkali hasil dapat dicapai jika yang diutamakan adalah sikap kompromistis dan akomodatif terhadap berbagai kepentingan. Terkadang diperlukan seorang mediator untuk menjembatani pihak-pihak yang berbeda tujuan.
Situasi keempat adalah yang paling tidak diinginkan, di mana baik tujuan maupun cara tidak dapat disepakati pihak-pihak terkait. Situasi dengan ketidakpastian amat tinggi seperti ini dapat mengarah ke kekacauan (chaos). Dalam situasi seperti ini, peran perencanaan amat terbatas. Kalaupun ada, perencanaan lebih merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan keteraturan (“search for order”).
Agar perencanaan dapat disusun dan aktivitas dilaksanakan, yang harus dilakukan adalah secara gradual mengubah situasi dari ketidakpastian total (kategori keempat) menuju situasi serba pasti (kategori pertama). Hal ini harus dilakukan bertahap guna menghindari kesepakatan dini tentang tujuan (“premature consensus”) atau ketergesaan dalam menentukan langkah-langkah guna mencapai tujuan (“premature programming”). Jika hal ini terjadi, maka kesepakatan yang didapat akan mudah runtuh dan tujuan justru tidak tercapai.
Situasi kita saat ini
Saat ini kita berada di dalam situasi keempat. Tujuan belum disepakati, cara untuk mengatasi persoalan pun tidak sepenuhnya diketahui. Meskipun semua orang sepakat bahwa kita ingin segera bebas dari pandemi Covid-19 namun sebenarnya belum ada kesepakatan tentang tujuan yang bersifat “immediate”. Apakah tujuan jangka dekat adalah menuntaskan urusan kesehatan masyarakat terlebih dahulu, baru memikirkan hal-hal lain kemudian, ataukah mengupayakan pencegahan penyebaran sebisa mungkin tanpa mematikan ekonomi makro, mikro dan keluarga? Di tataran yang lebih rendah, perusahaan, organisasi bahkan keluarga pun umumnya menghadapi situasi yang kurang lebih sama.
Dalam situasi demikian, tidak ada model perencanaan yang efektif. Sejarah perencanaan mengajarkan kita bahwa situasi seperti ini membutuhkan kehadiran pemimpin kharismatik yang dapat menyatukan tujuan, bukan sekedar pemimpin yang memiliki banyak pengikut tetapi tidak bisa menyatukan pihak-pihak lain. Dengan kharisma serta kemampuan untuk mempersatukan pandangan, pemimpin semacam itu dapat mengubah kondisi dari situasi keempat ke situasi ketiga (di mana tujuan dapat dinegosiasikan karena ada aturan main yang dipatuhi bersama) atau ke situasi kedua (di mana ada kesepakatan akan tujuan, tinggal mencari caranya). Sayangnya pemimpin semacam ini semakin langka di dunia yang masyarakatnya semakin terpecah-pecah dan tidak mudah berkompromi.
Lantas bagaimana?
Apa boleh buat. Jika kesepakatan akan tujuan dan cara tidak bisa segera diwujudkan, maka satu-satunya harapan adalah ketegasan dan konsistensi dari pemegang otoritas tertinggi untuk menggeser keadaan dari yang serba tidak menentu (situasi keempat) ke situasi ketiga atau kedua. Caranya pun terpaksa dengan pendekatan “perintah dan kendali” (“command and control”). Setiap keputusan harus didasari oleh pertimbangan ilmiah dari ahli di bidang terkait. Setiap keputusan harus dilaksanakan oleh semua pihak terkait. Tidak boleh ada yang “ngeyel”.
Otoritas tertinggi di sini bisa presiden untuk tingkat negara, kepala daerah untuk daerah, direktur utama untuk perusahaan, ketua pengurus untuk organisasi, kepala rumah tangga untuk keluarga. Sementara itu, bagi individu, yang penting tentukan dan ambil langkah yang paling mudah dilakukan (“low hanging fruit”).
Setelah kita berada di situasi ketiga, di mana otoritas tertinggi sudah memutuskan tujuan terdekatnya maka cara untuk mencapai tujuan tersebut bisa kita diskusikan dan tentukan bersama. Atau, bisa juga otoritas tertinggi sudah menentukan aturan main, maka semua pihak bisa membangun kesepakatan akan tujuan terdekatnya.
Di dua situasi tersebutlah perencanaan baru bisa dilaksanakan dengan lebih efektif. Mungkin perencanaannya masih bersifat inkremental, tapi tidak boleh terfragmentasi. Tahap demi tahap, baik tujuan maupun langkah perlu dievaluasi untuk melihat apakah sudah pada jalur yang benar atau perlu ada koreksi. Evaluasi yang baik selalu membutuhkan transparansi akan data yang mendekati kenyataan, sehingga semua pihak bisa memiliki pandangan yang sama tentang situasi yang ada.
Namun, mengingat ketidakpastian yang masih sangat tinggi, setiap rencana perlu disertai dengan rencana cadangan (“Plan B”). Rencana cadangan ini sudah harus disiapkan sebelum melangkah dengan rencana yang dipilih, bukan baru dicari-cari ketika Plan “A” tidak berjalan. Bahkan, jika dirasa perlu, kita juga harus sudah siap dengan skenario terburuk (“worst case scenario”) tanpa harus menjadi panik. Rencana komprehensif baru bisa disusun ketika kita berada pada situasi perencanaan yang pertama di mana tujuan dan cara sudah sama-sama disepakati sehingga bisa dituruti oleh pihak-pihak terkait.
Memang sulit membuat rencana di tengah ketidakpastian yang tinggi. Meskipun demikian langkah-langkah inkremental tetap dapat dilakukan untuk meningkatkan kepastian situasi, sehingga kemudian kita bisa membuat rencana. Jika kita mempunyai tujuan tapi sumberdaya terbatas, kita memang harus punya rencana. Tidak harus jangka panjang. Cukup selangkah demi selangkah. Tanpa itu, tujuan hanya akan menjadi mimpi.
Wicaksono Sarosa, pekerja arus pengetahuan (knowledge worker) di Ruang Waktu Knowledge-Hub for Sustainable [Urban] Development dan beberapa organisasi lain.