Tulisan oleh Zamzam Siregar dan pernah dipublikasikan dalam Konstruksi edisi September 1997, hal 25-26
Beberapa bulan lalu, Principal PT Rona Kota Selaras – Wicaksono Sarosa, mengadakan dialog dengan para mahasiswa arsitek Universitas Indonesia (UI). Masalah yang dibahas, yakni mengenai urbanisme baru. Dengan tema, “Paradigma Baru Perancangan Kota dan Relevansinya dengan Pola Perkembangan Kota di Indonesia.”
Gerakan urbanisme baru (New Urbanism), nampaknya sudah saatnya diterapkan di Indonesia. Mengingat, pola pertumbuhan kota yang ada saat ini, membutuhkan suatu pemikiran serta kaidah perancangan urbanisme baru. Walau penerapannya sendiri, perlu adaptasi. “Perencanaan pemukiman yang ada sekarang atau kota-kota baru, masih berorientasi ke mobil. Artinya, bila kita tinggal di permukiman tersebut, kita pasti membutuhkan mobil untuk segala keperluan. Seperti: untuk berbelanja, ke kantor dan seagainya,” demikian Wicaksono dalam perbincangannya dengan Konstruksi di Cafe Wien Jakarta, belum lama ini.
“Kalau anda datang ke suatu pameran perumahan, coba perhatikan gambar-gambar site plan yang ada. Dan, bayangkan anda tinggal di salah satu perumahan itu. Anda pasti naik mobil bila ingin membeli ini dan itu,” tambahnya kemudian.
Menurut Wicak, begitu si pemerhati masalah perancangan kota di Indonesia ini lazim dipanggil, jika kota-kota yang ada saat ini pertumbuhannya masih seperti sekarang, dan trend pembangunan perumahan juga masih tetap seperti saat ini, penduduk Indonesia akan semakin tergantung kepada mobil pribadi untuk aktivitasnya. Sehingga, angkutan umum yang disediakan tidak akan bisa efisien. Dan, masyarakat tidak akan nyaman untuk menggunakan angkutan umum itu.
Paling tidak, ringkasnya, bila seseorang ingin naik angkutan umum, terlebih dahulu ia harus naik mobil ke stasiun atau terminal. Sehingga pada situasi tertentu, timbul pemikiran: kenapa tidak langsung saja dari rumah ke tempat tujuan? “Hal seperti itu, termasuk hasil pengamatan saya di sini,” tegasnya sembari tersenyum.
Tetapi, katanya pula, kalau berjalan kaki dari rumah ke stasiun terasa nyaman, dengan sendirinya setiap orang akan terpanggil untuk berjalan kaki. Dan, untuk menciptakan rasa nyaman itu sendiri, menurutnya, mempunyai bermacam-macam persyaratan. Misalnya: ada keragaman-keragaman. Seperti pohon-pohon yang rindang, pertokoan dan sebagainya. “Cara-cara seperti itu harus dimanfaatkan supaya orang tertarik berjalan kaki ke stasiun. Begitu pula dari stasiun yang baru, di mana orang tersebut turun, lalu berjalan kaki ke tempat ia kerja.”
Ditegaskan, cara-cara seperti itu, belum ada di Indonesia. Jakarta sendiri baru mulai mengadakan. Seperti pedestrianisasi yang akan diadakan di Jalan Thamrin. Serta, pengembalian fungsi daerah hijau yang tadinya dipakai untuk fasilitas umum, dan sebagainya.
Tetapi, usaha-usaha seperti itu, kata Wicak, masih partial. Pemikiran-pemikirannya belum diintegrasikan dalam perencanaan kota-kota baru. Meski, dimungkinkan sudah ada sepeti open space, dan lainnya. Tetapi ketergantungan terhadap mobil pribadi itu, masih cukup tinggi.
“Itulah, yang sebenarnya kota harapkan tidak terjadi di Indonesia. Karena kita negara kepulauan. Sekarang oke kita punya tambang minyak. Bukan berarti, minyak tersebut akan ada seterusnya kan. Kalau peningkatan konsumsi minyak masih seperti sekarang, tak mustahil secepatnya Indonesia harus mengimpor minyak,” ujarnya.
Dengan adanya ketergantungan kepada mobil pribadi, menurutnya, merupakan suatu kerugian. Baik dari segi ekonomi maupun lingkungan hidup. Juga, menghambat interaksi sosial sesama masyarakat. Hal itu, katanya, tentu berbeda dengan bila memakai kendaraan umum atau berjalan kaki. Di mana, sering terjadi interaksi sosial positif yang tidak di duga.
Pemikiran itu merupakan alasan bagi Wicak, mengapa mobil dianggap tidak kondusif dalam pembentukan komunitas. Karena, suatu lingkungan yang sangat tergantung terhadap penggunaan mobil, dalam arti penghuni dalam suatu pemukiman harus naik mobil dalam aktifitasnya. Komunitinya tidak bisa diharapkan sekompak komuniti yang tidak tergantung kepada mobil. “Penelitian untuk itu, sebenarnya sudah ada,” ujarnya lalu memberi contoh, “lingkungan yang jalan di depannya sangat ramai dengan traffic lalu lintas, interaksi rumah yang berseberang-seberangan sedikit sekali. Ini secara logika. Dan logika ini sudah disesuaikan dengan penelitian,” katanya.
Sebaliknya, tandasnya, jalan yang traffic-nya sedikit, akan tercipta komunikasi antara tetangga yang berseberang-seberangan, lebih banyak. “Itulah sebabnya, mengapa mobil dianggap sangat tidak kondusif terhadap pembentukan komuniti,” tambahnya kemudian.
Oleh karena itu, kata Wicak, kalau seorang arsitek atau perencana kota bisa merencanakan kota, paling tidak kurang tergantung kepada penggunaan mobil, maka sudah merupakan suatu kontribusi. Baik untuk pembentukan komuniti, lingkungan, ekonomi, dan sebagainya.
Jadi, peran arsitek perencana kota sangat penting ya? “O, iya! Walaupun banyak batasannya. Karena kita tidak bisa menyelesaikan semua masalah. Tapi kalau kita bisa berperan, tentu sangat bagus,” jawabnya sembari tersenyum.
Harus berkualitas
Wicaksono Sarosa lahir di Bandung lebih kurang 38 tahun lalu (disclaimer-saat dipublikasikan tahun 1997). Tepatnya, 11 Oktober 1959. Ia merupakan putra ketiga dari enam bersaudara. Ibunya bernama Sri Hartati dan alm. ayahnya Winot Sarosa. Ayahnya adalah seorang general manager Hotel Garuda, Yogyakarta. Karena status ayahnya sebagai pegawai swasta, membuat masa kecil dan jenjang pendidikannya diwarnai di berbagai kota. Sebut saja, SD, SMP maupun SMU (dulu SMA), ia lalui di kota budaya itu. Sedang gelar Insinyurnya, dia peroleh dari Teknik Arsitektur ITB. Begitu lulus tahun 1984 dari ITB, Bangungg, Wicak kemudian hijrah ke Jakarta dan bekerja di PT. Arkonin, untuk merencanakan pembangunan Bumi Serpong Damai (BSD). Dia menduduki posisi Divisi Planning. Yang tugasnya: mengerjakan pekerjaan-pekerjaan perencanaan kota, site planning, dan sebagainya. “Kebetulan tahun 1990, saya mendapatkan beasiswa Fullbright dari pemerintah Amerika Serikat. Jadi, tahun 1990 saya berangkat ke sana. Dan kuliah di University of California, di Berkeley,” ujarnya ketika ditanya tentang jenjang pendidikannya.
Setelah mendapat gelar Master of City Planning (MCP) di tahun 1992, kemudian Wicak melanjutkan program studinya ke program Ph.D, untuk bidang yang sama. Sambil kuliah, ia bekerja sebagai peneliti. Dan, menjadi Asisten Dosen Prof. Daniel Solomon (salah satu pelopor gerakan new urbanism).
Lebih kurang enam tahun di Amerika, pria yang tengah mengambil cuti kuliah ini kembali ke Indonesia. Lalu, mendirikan PT. Rona Kota Selaras. Sebuah perusahaan konsultan di bidang arsitek, analis perencanaan dan lingkungan perkotaan.
Gerakan urbanisme baru (new urbanism, sebenarnya lahir di USA. Para pelopornya beranggapan, dua masalah utama yang ditimbulkan oleh bentuk fisik kota-kota pinggiran, yang disebut suburban modern terlalu mengakomodasi kebutuhan kendaraan pribadi. Sedang di Indonesia, Wicaksono Sarosa merupakan orang pertama yang memperkenalkannya. “Mungkin banyak teman-teman se-profesi di bidang arsitektur maupun perencanaan kota, sudah mendengarnya, karena, bukunya memang ada,” ujarnya seketiak.
Lalu, apa yang diperkenalkan? “Yang dipromosikan adalah kota-kota yang kompak, ramah lingkungan, dan kota-kota yang bisa mewadahi komuniti,” jelas pria yang menyenangi olah raga renang dan musik soft listening ini.
Di samping aktif di Rona Kota, ayah dari (Adi Bayuputra Sarosa dan Astari Pinasthika Sarosa), hasil dari perkawinannya dengan Nurmasaria Sarosa ini, juga aktif menjadi dosen arsitek di Universitas Trisakti dan Mercu Buana. Meski demikian, ia tetap menyisihkan waktunya buat keluarganya. Baginya, waktu untuk anak dan istrinya boleh sedikit, tetapi harus berkualitas. Artinya, keluarganya harus benar-benar merasa kehadirannya.
Ditanya tentang filosofi hidupnya, ia berkata “lakukan apapun yang terbaik untuk dunia. Dan yang terbaik itu, nantinya akan kembali ke anda.” Jadi “Give to the world the best you have, and the best will come back to you,” ujarnya sembari tersenyum diakhir perbincangan.