Di sosial media, terutama Instagram, Twitter dan TikTok, seringkali kita menemukan konten yang menyajikan video Kota Jakarta dengan vibes Korea atau Jepang dengan tagline “Jakarta Rasa Korea”, atau kota/daerah lain yang dianggap memiliki vibes yang khas, yang sebenarnya hanya karena colour grading yang digunakan dalam video atau fotonya. Belum lagi membahas tempat wisata yang didesain sedemikian rupa menyerupai negara atau lokasi tertentu. Di satu sisi, kita merasa kota-kota kita telah berkembang dan ‘menyerupai’ kota-kota di negara maju. Tapi, sebenarnya, safe to say kalau ini adalah sebuah ‘krisis identitas’ perkotaan.
Kenapa Penting Bagi Kota untuk Menciptakan (atau Mempertahankan) Identitasnya?
Sebuah kota pada dasarnya menjadi “rumah” bagi penduduknya. Penduduk di kota membentuk kebudayaan, yang akan menciptakan identitas bagi suatu kota. Penting bagi sebuah kota untuk mempunyai atau mempertahankan identitasnya karena memberikan keselarasan antara manusia/penduduk dengan ruang, sehingga kota menjadi unik dan khas. Identitas kota itu yang akan menciptakan kota yang vibrant dengan karakter-karakter khusus, serta membedakan satu kota dengan kota lainnya. Identitas kota itu juga lah yang akan menciptakan ciri khas sebuah kota dan menjadi main attraction bagi siapapun yang datang ke kota tersebut. Identitas suatu kota atau kawasan bisa terbentuk dari kebiasaan masyarakat, aktivitas yang dominan atau bisa juga karena sejarah.
Misalnya, ketika kita bicara soal Kota Yogyakarta, yang menjadi top of mind kita adalah Malioboro dan angkringan. Atau ketika bicara soal Blok M di Jakarta Selatan, salah satu hal pertama yang terpikirkan adalah Little Tokyo karena dari sejarahnya, Blok M dahulu dihuni oleh ekspatriat asal Jepang. Kemudian, ketika melihat telepon umum dan kotak surat berwarna merah, kita mengasosiasikan itu dengan Britania Raya.
Apakah Salah Jika Suatu Kota atau Kawasan Mencirikan Kota atau Kawasan Lain?
Pertanyaan ini bisa muncul karena penulis di awal membawa studi kasus “Jakarta Rasa Korea”. Salah atau tidaknya tergantung dari bagaimana terbentuknya ciri khas di kota atau kawasan yang menyerupai kota atau kawasan lain.
Misalnya, Kawasan Kota Lama Semarang yang mempertahankan fasad bangunan dan arsitektur yang bergaya Eropa, serta merevitalisasi street furniture-nya. Hal ini termasuk hal positif mengingat Kawasan Kota Lama merupakan kawasan bersejarah yang dahulu menjadi pusat pemerintahan daerah pada era Kolonial Belanda. Hal seperti ini dipertahankan untuk menjadi pengingat, media untuk mempelajari sejarah bangsa, serta menjadi destinasi wisata yang berdampak baik untuk ekonomi daerah. Jika bicara sejarah yang lebih kontemporer, terbentuknya identitas Little Tokyo di Kawasan Blok M merupakan salah satu contohnya. Tahun 1980-an, banyak ekspatriat asal Jepang yang tinggal di sekitar Blok M dan akhirnya terbentuk restoran, bar dan fasilitas lainnya dengan nuansa Jepang yang otentik, hingga terciptanya festival Ennichisai yang diselenggarakan setiap tahun. Kedua identitas itu terbentuk karena sejarah dan kebudayaan masyarakat yang beraktivitas di kawasan tersebut.
Adopsi Ciri Khas yang Salah Tempat
Melihat gambar di atas, kita mungkin akan mengalami semacam kebingungan, karena terasa seperti di Malioboro, tetapi bukan di Malioboro. Foto di atas adalah di Kawasan Kayutangan, Kota Malang. Kawasan Kayutangan merupakan kawasan bersejarah dengan fungsi perdagangan dan jasa dengan bangunan-bangunan peninggalan kolonial di kiri dan kanan jalan, walaupun banyak yang berubah fasad dan arsitekturnya. Revitalisasi Kawasan Kayutangan pada tahun 2019 malah membentuk identitas kawasan yang mirip Malioboro. Sejarah Yogyakarta tidak pernah terbentuk di Malang dan hal ini terkesan dibuat-buat.
Begitu juga dengan keberadaan charger box di Kawasan Kota Lama Semarang dengan bentuk menyerupai telepon umum di Britania Raya. Sementara itu, nyaris tidak ada jejak sejarah Britania Raya di Semarang.
Pembentukan identitas kawasan atau kota ini penting untuk menciptakan rasa kepemilikan masyarakat terhadap kawasan tersebut, atau sense of place. Kawasan atau kota yang berkarakter akan menciptakan suasana yang lebih vibrant, yang tentu saja harus didukung dengan perencanaan di level urban design. Selain itu, identitas yang terbentuk itu perlu dijaga sebagai pengingat dan sarana edukasi tentang bagaimana kota atau kawasan tersebut tumbuh dan berkembang. Tentunya tidak harus seluruh kota memiliki karakter khusus. Tetapi, selain museum dan monumen, apakah Anda dapat menyebutkan kawasan yang memiliki keunikan di kota tempat tinggal Anda?
Daftar Pustaka
Boussaa, D. (2018). Urban Regeneration and the Search for Identity in Historic Cities. Sustainability: 1-16
Malang Pagi. (2022). Kayutangan Mau di Bawa ke Mana? https://malangpagi.com/kayutangan-mau-dibawa-ke-mana/
The Atlantic. (2020). Why Every City Feels the Same Now?
https://www.theatlantic.com/technology/archive/2020/08/why-every-city-feels-same-now/615556/