Dibuka dengan wajah baru, Tebet Eco Park mendadak jadi ‘artis debut yang diidam-idamkan’ warga ibu kota. Meski pagar besi proyek masih banyak terpasang, taman ini tetap diserbu oleh masyarakat. Mereka tidak mau ketinggalan untuk ‘mencicipi’ ruang terbuka publik yang kelihatan dirancang berbeda dari biasanya.
Ketika pertama kali masuk ke area Tebet Eco Park lewat plaza utara, pengunjung akan langsung dimanjakan dengan pemandangan sungai kecil yang dihiasi dengan rimbunan semak-semak dan pepohonan yang rindang. Mirip foto taman yang sering ditemukan di balik kartu pos jadul. Di sampingnya, terdapat padang rumput hijau yang adem, dikelilingi barisan pohon berbatang warna-warni yang dikenal sebagai Pohon Leda alias rainbow eucalyptus. Areal padang rumput ini dinamakan community lawn. Di sini, masyarakat bisa bebas berpiknik ria bersama keluarga. Menggelar tikar sembari botram*, tanpa khawatir diusir satpam. Tak jauh dari sana, terdapat taman tematik, lengkap dengan kursi kayu, ayunan, dan tanaman bunga kupu-kupu (Bauhinia purpurea) yang indah saat diabadikan. Cocok untuk pengunjung yang senang update status di media sosial.
Di seberang selatan, area bermain anak menjadi fasilitas yang paling mencuri perhatian. Pasalnya, di sini bukan cuma bocah-bocah cilik yang bisa jumpalitan, tetapi para orang tua juga bisa lincah berolah raga menggunakan beberapa alat kebugaran. Masih di sisi yang sama, terdapat wetland boardwalk, wahana edukasi ekosistem lahan basah yang dibangun mengikuti alur sungai kecil di tengah-tengah Tebet Eco Park. Dikatakan, area ini merupakan ruang khusus untuk menampung air di kala hujan deras demi mengurangi risiko banjir. Saat mencapai bagian ujung taman, pengunjung dapat menemukan tempat khusus untuk bercocok tanam. Spesial bagi para lansia dan anak muda yang ingin menyalurkan hobi berkebun mereka. Areal tersebut juga dikelilingi rindangnya pepohonan forest buffer yang meredam kebisingan lalu lintas Jalan Gatot Subroto dan Jalan Tol Dalam Kota Cawang-Grogol-Pluit.
Ragam fasilitas yang ada di Tebet Eco Park seakan mengundang seluruh kelompok masyarakat untuk berkumpul dan bergumul di dalamnya. Di parkiran taman yang terbatas, terlihat beberapa mobil mewah berdampingan dengan mobil murah ala anak muda (dibaca: LCGC) dan mobil-mobil lama yang tampak awet muda. Pemotor juga ramai berlalu lalang, mulai dari pengguna moge sampai bonceng tiga. Penumpang angkot ikut berduyun-duyun masuk dari pintu timur bersama rombongan pejalan kaki yang datang dari segala arah.
Keberagaman fasilitas memang menjadikan taman kota jauh lebih inklusif dan adil karena masyarakat dari berbagai kelompok dapat memanfaatkan taman tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka (Mehta dan Mahato, 2020).
Menurut Kazmierczak dan James (2007), ada empat mekanisme atau karakteristik utama yang membuat taman kota punya kekuatan untuk menyatukan masyarakat perkotaan yang beragam alias heterogen.
Pertama, taman kota adalah fasilitas publik yang gratis dan aksesibel bagi semua orang. Tidak ada diskriminasi bagi masyarakat kelas mana pun. Dengan begitu, warga dari berbagai kelompok dapat memanfaatkannya tanpa ragu. Atas alasan ini, Ward Thompson (2002) bahkan menyebut taman dan ruang terbuka hijau sebagai tempat di mana demokrasi “benar-benar berjalan semestinya”.
Kedua, taman kota merupakan arena sosial yang membuka peluang bagi semua warga untuk saling berinteraksi tanpa batasan. Gehl (1987) mengatakan ruang terbuka seperti taman memungkinkan adanya interaksi yang santai dan tidak disertai rasa ingin menuntut. Warga bisa bersosialisasi dengan banyak orang, memperhatikan dan mendengarkan mereka, mendapatkan pengalaman positif, namun di satu sisi juga dapat memilih untuk menyendiri. Ruang publik, terutama di permukiman berkepadatan tinggi, adalah ruang yang penting untuk menciptakan interaksi sosial dan rasa saling kenal, atau dengan kata lain, taman dapat menjadi ‘arena sosial’ bagi semua.
Ketiga, taman dapat turut meredakan stres dan kelelahan mental yang dialami warga kota. Tidak dapat dipungkiri, kota adalah lingkungan yang penuh tekanan bagi penduduknya (Bollund dan Hunhammar, 1999). Gejala-gejala stres dan kelelahan mental seperti mudah tersinggung, kurang perhatian, dan ketidakmampuan mengontrol emosi akan mengurangi kualitas interaksi sosial seseorang di masyarakat (Kuo et al., 1998). Kesempatan untuk mengunjungi taman kota mampu meredakan stres dan menambah perspektif dalam hidup. Hal ini penting bagi mereka yang setiap harinya mengalami kesulitan hidup dan tekanan sosial, khususnya kelompok minoritas (Ward Thompson, 2004; CABE Space, 2005).
Terakhir, taman juga dapat membuka kesempatan bagi warga kota untuk terlibat dalam kegiatan komunitas secara sukarela. Salah satu kegiatan yang paling menarik bagi warga kota ialah berpartisipasi dalam perancangan dan pengelolaan taman itu sendiri (Bryant, 2006). Berkebun (terapi holtikultur) membawa banyak manfaat bagi individu yang terlibat. Misalnya, meningkatkan kepercayaan diri, menyembuhkan diri dari depresi dan perilaku agresif (Smardon, 1988; Aldridge and Sempik, 2002), membuka peluang untuk interaksi sosial yang lebih baik. Keuntungan lainnya adalah mereka yang terlibat dapat kemampuan tambahan sehingga lebih mudah diterima di tempat kerja serta membantu kelompok minoritas untuk lebih menyatu dengan masyarakat (Chanan, 2006).
Lewat keempat mekanisme ini, taman kota menjadi lebih punya makna bagi masyarakat, bahkan meningkatkan kohesi sosial di antara warga kota. Kelompok masyarakat yang tersisihkan, terutama kaum minoritas, dapat lebih mudah diterima oleh kelompok masyarakat lain yang mendominasi di perkotaan.
Dengan begitu, taman kota bukan lagi dibangun sekedar untuk memenuhi persyaratan minimum persentase ruang terbuka hijau (RTH) di dalam rencana tata ruang, tetapi juga bisa menjadi sarana bagi warga untuk mewujudkan mimpi mereka soal kota impian yang mereka idam-idamkan bersama. Tentu butuh lebih banyak taman kota lagi untuk merealisasikan hal ini. Tidak hanya di Tebet, ataupun DKI Jakarta, tetapi di seluruh kota di Indonesia.
Referensi :
Kaźmierczak, A., & James, P. (2007). The role of urban green spaces in improving social inclusion.
Mehta, V. & Mahato, B. (2020) Designing urban parks for inclusion, equity, and diversity, Journal of Urbanism: International Research on Placemaking and Urban Sustainability. DOI: 10.1080/17549175.2020.1816563