“Naik kereta api, tut-tut-tuuut. Siapa hendak turut? Ke Bandung, Surabaya. Bolehlah naik dengan percuma. Ayo kawanku lekas naik! Keretaku tak berhenti lama.”
Lagu anak-anak di atas mungkin sudah kalah populer ketimbang Cocomelon yang hampir setiap hari diputar keluarga zaman now. Namun, bait-bait yang disusun oleh Ibu Sud nyaris seabad lalu itu ternyata menjadi semakin relatable akhir-akhir ini.
Beberapa waktu lalu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengumumkan rencana pemisahan tarif bagi pengguna Kereta Rel Listrik area Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (KRL Jabodetabek) yang kini dikenal dengan nama Commuter Line. Ironisnya, rencana itu dibeberkan ke publik usai Presiden Joko Widodo meresmikan hasil pengembangan Stasiun Manggarai Tahap I yang menjadi hub utama bagi KRL Jabodetabek.[1]
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bakal mencabut subsidi tarif bagi penumpang ‘kaya’ sehingga harga tiket KRL akan naik dari Rp3-5 ribu menjadi Rp10-15 ribu. Langkah ini dinilai akan memangkas dana Public Service Obligation (PSO) untuk subsidi KRL yang pada tahun 2021 mencapai lebih dari Rp2,14 triliun.[2] Nilai tersebut meliputi 66,87 persen dari total PSO kereta api ekonomi dan perintis sebesar Rp3,2 triliun.
Kemenhub mengklaim, kebijakan ini akan diterapkan demi ‘subsidi tepat guna’ dari PSO yang mereka anggarkan setiap tahunnya.[3] Meski demikian, belum jelas bagaimana Kemenhub akan memisahkan kelompok penumpang sejahtera dan nonsejahtera.
Sontak kontroversi timbul di berbagai kalangan. Pasalnya, tidak cuma pekerja kerah biru yang bergantung pada KRL Jabodetabek. ‘Buruh’ SCBD sampai milenial kelas menengah yang hanya mampu membeli rumah di batas-batas kabupaten juga tidak bisa lepas dari kereta komuter ini.
Subsidi bukan sekedar subsidi
Adanya subsidi tarif KRL sejatinya punya semangat yang sama dengan lagu Kereta Apiku gubahan Ibu Sud. Saridjah Niung–nama asli Ibu Sud–mengajak pendengarnya untuk ikut naik kereta api secara cuma-cuma alias gratis. Bait tersebut seakan menjadi ilustrasi kebersamaan dan kesetaraan yang dijunjung oleh masyarakat Indonesia di masa awal-awal kemerdekaan.
Tarif subsidi yang disodorkan saat ini, nyatanya sudah cukup untuk ‘mengajak’ lebih banyak orang untuk beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Saat harga bahan bakar minyak (BBM) naik drastis pada September 2022 silam, penumpang KRL meningkat sampai 8,5 persen.[4]
Makin banyak orang yang ikut beralih ke moda kereta api, tentu makin sedikit persoalan kota yang bakal dihadapi pemerintah. Polusi dan kemacetan berkurang, anggaran untuk perbaikan jalan menipis, kebutuhan ruang parkir juga semakin sedikit. Kerugian ekonomi yang mencapai 0,16 persen dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta[5] juga perlahan akan menghilang.
Penghapusan subsidi untuk kelompok mampu justru akan menimbulkan efek sebaliknya, bahkan memperkuat stigma kemiskinan dan transportasi publik. Warga tentu akan makin ogah-ogahan saat diajak naik angkutan umum. Mereka terpaksa memilih kendaraan pribadi, walau harus bermacet-macet ria.
Lagipula, subsidi kereta api di Indonesia saat ini sangat kecil jika dibandingkan dengan subsidi BBM yang mencapai Rp502,4 triliun pada 2022 lalu.[6]
Inklusivitas angkutan, ciri kota maju
‘Kota yang maju bukanlah kota yang warga miskinnya mampu bepergian dengan mobil, melainkan kota yang dapat mendorong orang-orang kaya naik transportasi publik’
Ungkapan tersebut dilontarkan Enrique Peñalosa, mantan Wali Kota Bogota, Kolombia, saat diwawancarai Agencia EFE, media internasional berbahasa Spanyol pada 2012 silam.[7] Enrique bukanlah orang sembarangan di dunia transportasi kota. Ia merupakan inisiator pembangunan TransMilenio, salah satu sistem Bus Rapid Transit (BRT) pertama di dunia. Inovasi sistem bus cepat ini kemudian menjadi inspirasi bagi Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso untuk menciptakan TransJakarta yang mampu melayani hingga 1 juta penumpang pada tahun 2019 lalu.
Tak aneh, bila pepatah itu kini sudah menjadi ‘mantra’ bagi para pakar transportasi kota di seluruh dunia. Pasalnya, pernyataan ini bukan saja menyindir visi kota-kota bermobil (car-centric cities) yang tidak humanis, tetapi juga mendobrak stigma transportasi publik yang sering dianggap sebagai ‘Kendaraan si Miskin’.
Pembangunan angkutan umum sejatinya tidak hanya menguntungkan kota secara keseluruhan, tetapi juga penduduknya secara individual. Tidak perlu lagi warga kota ikut bermacet-macetan, mengantre di jalanan, atau mengisi bensin untuk keperluan seharian. Cukup mengetuk mesin tiket dengan kartu ajaib, lalu duduk manis di kursi kereta atau bus sepanjang hari. Jika kurang beruntung, terpaksa harus berdiri menggelantung di sudut gerbong sampai tujuan. Setidaknya, tidak menghirup polusi udara atau terkurung di dalam kabin mobil seharian.
Enrique tentu akan setuju untuk menyebut diskriminasi tarif transportasi publik sebagai sebuah kemunduran, apalagi jika ia tahu hal tersebut akan berlaku di wilayah perkotaan yang dihuni oleh nyaris 20 juta jiwa. Orang berduit jelas akan kabur saat dipaksa untuk naik angkutan umum yang tarifnya bisa lebih mahal daripada ongkos bensin.
Jadi, maukah pemerintah memajukan kota-kota di Indonesia lewat subsidi transportasi publik?
[1] https://setkab.go.id/presiden-jokowi-resmikan-stasiun-manggarai-tahap-i/
[2] https://ekonomi.bisnis.com/read/20220119/98/1490910/realisasi-subsidi-tarif-krl-capai-rp214-triliun-pada-2021
[3] https://www.liputan6.com/bisnis/read/5166186/subsidi-tarif-krl-kemenhub-bakal-pisahkan-kartu-si-kaya-dan-si-miskin
[4] https://katadata.co.id/tiakomalasari/berita/632999fc8eca2/harga-bbm-naik-jumlah-penumpang-mrt-dan-kereta-api-bertambah
[5] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3243447/ini-dampak-kemacetan-terhadap-perekonomian-jakarta
[6] https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Anggaran-Subsidi-dan-Kompensasi-Rp502,4-triliun#:~:text=Pemerintah%20telah%20menaikkan%20anggaran%20subsidi,triliun%20menjadi%20Rp502%2C4%20triliun.
[7] https://web.archive.org/web/20120924210022/http://www.semana.com/wf_LstComentarios.aspx?IdRef=148164&IdTab=1&IdArt=148164&Pagina=2